Rabu, 11 Februari 2009

Pengadilan Adat Tobung Tahik : Kearifan Lokal Yang Terlupakan

Oleh : John Mamun Sabaleku
Pada liburan sekolah bulan Juli tahun lalu, saya dan anak pertama saya Stefania Sabaleku, pulang ke kampung halamanku di Desa Waowala, Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata. Desa ku dulu adalah sebuah sub kampong (Rian) yang datar (Ebak) sehingga oleh warga setempat menyebutnya dengan nama Rian Ebak. Sub kampung ini merupakan bagian dari kampung besar kami bernama Lewotolok yang letaknya di kaki Gunung Ile Ape. Nama Waowala muncul setelah berpisah dari Lewotolok sebagai sebuah desa gaya baru sampai sekarang sampai saat ini.
Sehari setelah tiba di kampung, saya mendapat banyak kunjungan dari keluarga besar saya.Salah satunya adalah Bapak Matias Jeraman Sabaleku, yang kocak dengan selerah humor yang tinggi. Selain itu hadir pula beberapa keponakan saya. Pertemuan ini, sebagai pelepas rindu dan menanyakan kabar saya di tanah rantau sekaligus berbagai ceritra tentang kehidupan mereka di kampung. Maklum sudah sekian lama kami tidak bersua muka.
Pagi itu, sambil temani secangkir kopi dan jagung titi di campur kacang tanah goreng di hadapan kami, banyak ceritra mengalir, mulai dari masalah pribadi kami, politik, ekonomi, kahasanah budaya setempat serta hal-hal lain yang menarik untuk di bicarakan. Saya sebagai pendengar setia dan memberikan pendapat sesuai dengan pengetahuan saya yang didapat dari membaca Koran, buku dan interaksi saya dengan banyak kolega di tanah rantau.
Salah satu obrolan kami yang menarik dan menghentak kesadaran saya adalah, tentang khasanah budaya setempat yang pernah hidup dan dipraktekan dalam pergaulan social warga kampung kami pada waktu lampau untuk menata harmonisasi kehidupan mereka. Khasanah budaya yang dimaksud adalah pengadilan adat tobung tahik (istilah lamaholot) yang artinya “menengelamkan diri didalam laut dalam posisi duduk untuk membuktikan kesalahan” bagi orang yang divonis bersalah melanggar norma-norma kehidupan yang dianut warga setempat.
Menurut Bapak Jeraman, nara sumber kami, yang hidup sekitar 65-an tahun lalu mengatakan, banyak warga yang diadili dengan mekanisme pengadilan adat ini, adalah mereka yang melakukan tindakan pencurian dan perbuatan asusila, namun tidak mau mengakui perbuatannya. Korupsi ? pada saat itu orang kami belum tahu korupsi bung!. Sehingga untuk membuktikan apakah mereka bersalah atau tidak dilakukan melalui pengadilan adat, yang hasil diketahui langsung oleh warga masyarakat pada saat itu juga.
Selanjunya Bapak Jeraman menuturkan, disebuah sub kampung terjadi kehilangan ayam peliharaan secara terus menerus. Namun sialnya oknum pencuri itu tersebut tidak pernah tertangkap tangan. Karena ada riwayat sebagai pencuri dan berdekatan dengan lokasi pencurian, oknum warga kampung itu divonis oleh pemilik ayam sebagai pelaku pencurian.Namun oknum warga itu tidak mau mengakui perbuatannya. Dia mati-matian menolak vonis tersebut. Maka pemilik ayam tersebut menantang dia melakukan Tobung Tahik untuk membuktikan apakah dia adalah pencuri ayam atau tidak.
Maka difasilitasi oleh tua-tua adat, keduanya melakukan pengadilan adat tersebut dengan disaksikan oleh seluruh warga kampung. Didahului dengan seremoni adat untuk meminta restu dari lera wulan tanah ekan (Tuhan Yang Maha Esa) dan leluhur oleh pemangku adat di kampungku, si tertuduh dan pemilik ayam diarak oleh oleh warga kampung menuju pantai. Setelah sampai di pantai, keduanya diantar dengan sampan (perahu kecil) ke tengah laut yang agak dalam kira-kira tiga sampai empat depa tangan orang dewasa, kedua orang itu dilepas kedalam laut dengan batu sebagai pemberat dalam posisi duduk dengan kaki menjulur.
Aturan mainnya, siapa yang mengapung terlebih dahulu ke permukaan laut, entah hidup atau mati, maka dia tidak bersalah dalam kasus tersebut. Menurut Jeraman, sang nara sumber kami, mengatakan didalam laut, para penghuni laut seperti ikan, kepiting, dan sejenisnya sebagai pengadil terhadap siapa yang bersalah melakukan perbuatan menyimpang tersebut. Hal itu dilakukan dengan cara menggigit bibir, muka, mata bahkan mematikan orang yang bersalah dalam sebuah kasus. Temutu nepi apadikenen ama, ata ayakan rasaro helo temutu nepi kae (ceritra benar ini benar anak, ada banyak orang yang merasakan hukuman seperti ini).
Warga yang menyaksikan di tepi pantai menyaksikan pengadilan tersebut dengan hati yang berdebar dan tanda tanya. Siapakah yang salah dalam pengadilan ini ? Beberapa saat kemudian ada seseorang yang mengapung terlebih dahulu di permukaan laut. Setelah di lihat secara saksama, ternyata yang mengapung duluan adalah oknum yang dituduh mencuri tersebut. Maka dengan demikian terbuktilah sudah siapa yang melakukan pencurian ayam selama ini.
Tradisi ini barangkali ada atau mirip juga di kampung lain. Tetapi itulah tradisi yang pernah hidup dan berkembang di kampungku tempo doeloe. Namun kearifan lokal ini sudah lama sirna karena ditinggalkan oleh pemakai budayanya sejak hegemoni hukum posistif menguasai negara ini, dengan hadirnya polisi, jaksa, dan hakim disetiap tingkatan lembaga hukum, beserta regulasinya seperti KUHP dan KUHAP.
Dari ceritra Bapak Jeraman ini ada beberapa manfaat yang dipetik dari khasanah budaya ini. Pertama, mencari keadilan dengan hukuman model ini, sangat efektif memberikan efek jera terhadap pelaku. Karenan semua mata warga menyoroti seorang pencuri atau pelanggar norma lain sebagai seorang pencuri diamanapun dia berada. Bahkan yang bersangkutan menanggung aib itu sampai mati. Sementara yang terbukti tidak bersalah di pulihkan nama baiknya sesuai dengan ketentuan adat yang berlaku sebagai legitmasi bahwa ia memang bukan seorang pencuri dihadapan warga kampungku.
Kedua, pengadilan model ini juga jauh dari intrik rekayasa pasal hukum karena dasarnya adalah hukum adat dan kearifan yang tumbuh dikampungku, bukan KUHP atau KUHAP. Sehingga tidak ada multi tafsir terhadap pasal-pasal hukum oleh pembela, polisi, jaksa, hakim dalam menanggani sebuah kasus. Yang ada adalah penafsiran tunggal terhadap perbuatan orang itu, yakni bersalah atau tidak bersalah.
Ketiga, Sebelum wacana pembuktian terbalik (praduga bersalah) digulirkan akhir-akhir ini, pada beberapa kasus tertentu oleh para intelektual kita, hal ini sudah diterapkan oleh warga kampungku pada waktu yang lampau. Karena asas yang belaku dalam pengadilan adat tobung tahik di kampungku adalah asas praduga bersalah (pembuktian terbalik) bukan praduga tak bersalah seperti yang berlaku dalam hukum posistif dari dulu sampai saat ini. Sehingga siapa saja yang yang di vonis bersalah silakan membuktikan bahwa dia tidak bersalah denngan cara Tobung Tahik.
Teringat saya akan maraknya kasus-kasus korupsi di daerah ini dan kasus-kasus lain, dengan penanganan dan cara kerja yang berbelit-belit, saya lalu melontarkan pertanyaan kepada bapa Jeraman “ Ama, temutu nepi tite bisa terapkan te ata kewasan belen yang rekan doit ribu ratu nole kayak raen uka mela e, ama. (Bapa ceritra ini kalau diterapkan di pejabat yang korupsi uang rakyat berati bagus to bapa). Dia mengatakan memang betul sangat bisa anak, tetapi apakah kita punya kekuatan untuk mempengaruhi sistem yang mapan seperti ini. Beng tabe aku ama, alang titen ata dengeng hala (Mau bagaimana lagi bapa, suara kita tidak didengar), ujar saya.
Pasalnya dengan cara kerja yang berbelit-belit, pada akhirnya orang yang bersalah bisa lolos karena kasih uang habis perkara (KUHP) atau pemutarbalikan terhadap pasal hukum. Maka melalui tulisan ini saya minta dengan hormat, kearifan budaya lokal yang penah ada dan sudah ditinggalkan perlu menjadi permenungan kita untuk mengatasi persoalan korupsi yang melilit kita di bumi Flobamora ini. Karena uang yang di datangkan atas nama rakyat sudah terlalu banyak yang di korup untuk kepentingan pribadi dan golongan mereka.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar