Rabu, 11 Februari 2009

Sastra NTT dan Politik Publikasi

(Catatan Buat Yoseph Lagadoni Herin)
Oleh Bara Pattyradja

Penyair, anggota Forum Acedemia NTT, lahir di Lamahala, Flores Timur, 12 April-1983. Antologi puisi tunggalnya, Republik Iblis (Yogyakarta, 2006). Bermukim di Kota Kupang sembari mengasuh Sanggar Rumah Poetica.
SAYA menyambut baik gagasan genuine Yoseph Lagadoni Herin yang tertuang lewat esainya, "Sastra NTT Tak Pernah Mati" di harian Pos Kupang edisi 06/01/2009. Yang paling pertama menyentuh hati saya adalah respeknya yang sungguh-sungguh terhadap masa depan kehidupan sastra di NTT. Ia seorang wakil bupati yang setahu saya lebih tulus mencintai puisi dari pada politik. Sulit rasanya mencari sosok pemimpin yang benar-benar peduli pada pembangunan alam batin masyarakatnya, di tengah aras pembangunan bangsa yang oportunistik, pembangunan yang menghamba pada materi, pembangunan yang tidak punya keberpihakan sama sekali pada dimensi immaterial kemanusiaan kita! Bagi saya optimisme yang ditanamkan oleh Yoseph Lagadoni Herin tersebut merupakan suatu hal yang mengagumkan. Yoseph Lagadoni Herin, lewat esainya, hendak memberi wangsit, atau meneguhkan sebuah warta sederhana kepada publik pembaca di Nusa Nipah ini, bahwa meskipun sastra NTT kadang ngungun, kadang tersisih, dan tak lekas mencapai pusat, namun sastra NTT masih memiliki 'beribu nyawa' untuk bertahan hidup! Saya menemukan tiga ikhwal dasar yang cukup strategis yang turut memengaruhi denyut kehidupan sastra di NTT dari uraiannya tersebut. Ketiga ikhwal inilah yang akan saya soroti lebih jauh melalui tulisan ini. Pertama, politik publikasi. Kedua, tradisi kreatif. Ketiga, peran pemerintah daerah dalam mendorong agenda-agenda kebudayaan. Jika tiga ikhwal ini dapat ditata secara baik, terutama oleh pemerintah daerah dan para penggiat sastra, ke depan, menurut hemat saya, dinamika kehidupan sastra di NTT akan jauh lebih semarak dan produktif. Politik Publikasi Sebuah karya sastra, sebagus apa pun kualitasnya, tidak akan pernah populer jika tidak didukung oleh publikasi yang masif. Kisah kepenyairan Eksoda merupakan gambaran tragik tentang minimnya ruang publikasi sehingga karya-karya Eksoda yang bernas tidak dapat diakses oleh publik pembaca yang lebih luas. Ada sebuah pernyataan menarik yang termaktub dalam esai Yoseph Lagadoni Herin yang hendak saya kutip disini, "Jika ingin dikenal dalam dunia sastra Indonesia, harus berani keluar NTT, diekspos di media nasional. NTT terlalu jauh dari Jakarta, Pos Kupang terlalu kecil untuk Indonesia." Pernyataan ini menegaskan pentingnya publikasi, sekaligus secara geo-politik seolah mengukuhkan Jakarta sebagai satu-satunya imperium media yang memiliki otoritas absolut dalam menentukan nasib sebuah karya sastra. Saya kira di sinilah letak soalnya. Ada tautan relasional antara media dan kekuasaan. Oleh karena itu, sastrawan NTT, di samping terus berupaya mengasah kematangannya dalam berkarya, menurut saya, sangat penting juga memperluas radius pergaulannya dengan berbagai sastrawan yang ada di seluruh pelosok Nusantara. Akses terhadap wacana dan jaringan perlu dibuka seluas-luasnya, agar sastrawan NTT juga memiliki kemungkinan yang jauh lebih besar untuk mempublikasikan karya-karyanya di panggung kesusastraan nasional. Sudah waktunya bagi sastrawan NTT membangun kepercayaan diri guna mengatasi oposisi binner antara yang pusat dan yang lokal. Tradisi Kreatif Sebuah kota tidak hanya menyediakan pusat perbelanjaan, tapi juga mengemas dirinya menjadi etalase kebudayaan. Yogyakarta sebagai misal. Di mal, di angkringan, di kafe, di pelataran Malioboro, tak jarang kita melihat sekelompok orang duduk minum kopi sambil diskusi. Mereka berbicara tema apa saja, mulai dari sastra, filsafat, politik, hingga soal bagaimana caranya agar ayam bakar dari Solo bisa mengalahkan ayam bakar dari Amerika. Mereka datang dari kalangan yang berbeda-beda, tukang becak, mahasiswa, seniman, dosen, pedagang dan seterusnya. Di NTT, tradisi seperti ini belum terbentuk. Kalaupun ada, ruang lingkupnya masih sangat terbatas. Tradisi yang lebih rajin muncul di NTT secara umum justru adalah tradisi hedonisme, mass cultural. Naik kendaraan umum di Kota Kupang, contohnya, jantung kita seperti ditumbuk-tumbuk karena suara musiknya terlalu keras. Kota Kupang seperti kota musik, tapi tidak punya industri musik yang profesional. Ini momok dalam bidang kebudayaan. Berdirinya beberapa komunitas sastra di NTT, saya pikir, merupakan modal kultural yang signifikan untuk membentuk dan memperkuat tradisi kreatif yang saya contohkan di atas. Persolannya mau tidak kita membuka diri untuk melakukan dialog kebudayaan secara lebih luas. Kita butuh platform dasar untuk mendorong kehidupan bersastra di NTT agar memiliki bias secara nasional. Peran Pemerintah Daerah Jika kita telaah secara kritis, peran pemerintah daerah pada sejarah personal kepenyairan beberapa sastrawan Indonesia terkemuka yang berasal dari NTT, maka kita diperhadapkan pada sebuah situasi historis yang paradoks. Umbu Landu Paranggi, misalkan, secara administratif dan genetik memang mempunyai ikatan darah dengan NTT, karena ia orang Sumba. Tapi bagaimana ia menempah dirinya menjadi penyair, itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan NTT. Umbu Landu Paranggi mungkin saja tidak akan menjadi penyair besar jika ia tidak keluar dari NTT, pergi mengembara ke Yogyakarta. Meskipun di kemudian hari eksotisme alam Sumba hadir secara liris dalam puisi-puisi Umbu Landu Paranggi, hal itu tak berarti bahwa Sumba telah melahirkan seorang penyair besar. Tidak! Sumba atau pun NTT tidak memiliki andil apa-apa untuk membesarkan Umbu Landu Paranggi di dunia kepenyairan. Umbu Landu Paranggi dibesarkan oleh Persada Studi Klub di Kota Gudeg dan Sanggar Minum Kopi di Pulau Dewata. Satu contoh kasus ini saja bagi saya sudah cukup mencerminkan betapa rapuhnya strategi kebudayaan yang dibangun Pemerintah NTT, sehingga untuk menjadi penyair saja masyarakat NTT harus berimigrasi ke kota lain. Berbicara soal dukungan pemerintah daerah dalam mensuport agenda-agenda kebudayaan, saya secara pribadi juga pernah mengalami perlakuan buruk bersama tiga orang kawan penggiat sastra. Pengalaman buruk ini kami alami saat sanggar kami terpilih untuk mewakili sastrawan NTT guna menghadiri Forum Temu Sastrawan Mitra Praja Utama, di Lembang, Bandung, Jawa Barat, pada tanggal 2-4 November 2008 silam. Untuk kegiatan tersebut, Pemerintah Provinsi NTT hanya membekali uang saku lima ratus ribu rupiah untuk kami berempat. Ini tentu saja merupakan dukungan yang tidak logis, padahal kegiatan ini diselenggarakan secara resmi oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat berdasarkan kesepakatan dan kerja sama sepuluh provinsi, dan NTT termasuk provinsi yang turut ambil bagian dalam kesepakatan tersebut. Jika tabiat seperti ini tidak diperbaiki oleh pemerintah, lambat laun kehidupan kebudayaan di NTT akan mengalami kelumpuhan. Maju dan tidaknya sebuah peradaban tidak diukur berdasarkan bangunan yang megah, tapi diukur dari kemajuan literer sebuah bangsa. Peradaban tidak akan pernah lahir bila tidak mengenal budaya teks. Dan sastra, dalam peradaban mana pun, adalah satu-satunya benteng pertahanan terakhir yang menjaga hidup matinya tradisi teks ini. Jadi menurut saya, satu hal yang tak kalah penting yang juga perlu diperhatikan oleh Pemerintah NTT dalam mendorong kehidupan kebudayaan, lebih khusus lagi kehidupan sastra di NTT, adalah memasukkan kesenian, lebih khusus lagi (seni sastra) secara eksplisit ke dalam konstitusi. *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar