Kamis, 12 Maret 2009

Artis Sinetron Mungkin Dibunuh Pacarnya

PESINETRON sekaligus pemilik modelling agency Hanny Collections, Hanny A Wahab (53), dibunuh di rumahnya di Cengkareng, Jakarta Barat. Tubuh ibunda Elis dalam sinetron Wulan ini ditemukan dalam kondisi tanpa sehelai pun pakaian. Jenazah Hanny ditemukan di kamarnya oleh anak keduanya, Ahmad Sutrisno atau Aat (17) pada Rabu (11/3/2009) pagi. Aat yang sudah siap berangkat sekolah heran karena belum berjumpa dengan ibunya. Padahal, Hanny biasa membangunkan Aat sekitar pukul 05.00.Aat mendekati pintu kamar Hanny dan membukanya. Remaja ini terkejut mendapati sang ibu terbujur kaku di balik bed cover. Hanny yang terluka di kepalanya, terkapar di tempat tidur tanpa pakaian.Aat berteriak minta tolong sehingga warga berdatangan ke rumah Hanny yang terletak di Blok B5 No 24/25, Perumahan Interkota Indah, Durikosambi, Cengkareng. Beberapa saat ke­mudian, petugas Polsektro Cengkareng dan Polrestro Jakarta Barat tiba di lokasi kejadian.Berbagai dugaan di balik tewasnya Hanny muncul dari kawan-kawan dan kerabat mendiang. Ada yang menduga Hanny diperkosa lalu dihabisi. Ada juga yang menduga Hanny dibunuh oleh pesaingnya di bisnis modeling. Bahkan, ada pula yang menduga Hanny tewas oleh pacarnya ataupun mantan pembantunya.Menurut petugas Polsektro Cengkareng, mengutip pengakuan Aat, pada Selasa (10/3) se­kitar pukul 22.00, Hanny menerima tamu yang terdiri atas tiga lelaki. Aat sempat menyalami para pria yang baru malam itu ia temui. Dia kemudian masuk kamar dan tidur.Sementara itu, Akbar (10) —adik Aat—, tidur sendirian di salah satu kamar. Biasanya, Akbar tidur di kamar ibunya. Namun, karena malam itu Hanny masih menerima tamu, Akbar pun tidur sendiri.Menurut Ana, tetangga Hanny, ketiga pria tersebut datang dengan mobil Suzuki APV. Menjelang tengah malam, hanya dua pria yang keluar dari rumah Hanny dan pergi dengan mobil tersebut. ”Mereka datang naik APV warna silver. Yang dua pulang duluan,” katanya saat ditemui Warta Kota di dekat rumah Hanny, kemarin siang. Penelusuran Warta Kota, ketiga tamu Hanny pada malam itu adalah para pegawai modelling agency Prima School. Mereka datang untuk membahas lomba modeling pada 29 Maret 2009 yang diadakan di Hotel Sentral, Jalan Pramuka, Jakarta Pusat. Kegiatan ini diselenggarakan Prima School bekerja sama dengan Hanny Collections.Gois, pimpinan Prima School, membenarkan bahwa tiga stafnya menemui Hanny pada Se­lasa malam. ”Pertemuan itu dilakukan guna membahas persiapan terakhir,” katanya. Gois mengatakan, tidak mungkin ketiga orang itu pelaku pembunuhan Hanny. Gois juga mengaku pada Rabu pagi, ketiga orang tersebut berkomunikasi dengannya melalui telepon. ”Kami kaget mendengar kabar kematian Hanny. Kami dikabari oleh rekan Hanny yang tinggal di Jambi,” katanya. Hanny merupakan pebisnis sekaligus orangtua tunggal. Akbar dan Aat merupakan anak Hanny dari perkawinan kali kedua. Dari perkawinan pertama, Hanny memiliki seorang anak yang kini telah berumah tangga dan tinggal terpisah dari Hanny. Dua perkawinan Hanny berakhir dengan perceraian.TusukMenurut seorang polisi, Hanny diduga tewas akibat luka tusuk di leher dan kepala bagian belakang. Untuk mengetahui penyebab kematian Hanny, polisi mengirim jenazah pesinetron tersebut ke RSCM guna keperluan otopsi. Polisi menemukan kamar Hanny dalam kondisi berantakan. Namun, diduga tak ada barang berharga yang hilang. Perhiasan, uang, alat-alat elektronik, dan sejumlah barang berharga lainnya masih ada di tempatnya. Hanya telepon genggam milik Hanny yang tak ditemukan.Sementara itu, sampai berita ini diturunkan, Polsektro Cengkareng belum memberi keterangan resmi menangani kasus ini. Kapolsektro Cengkareng AKP K Ritonga tidak bisa ditemui ataupun dihubungi. (tos/warta kota)
Sumber : www.pos-kupang.com

Selasa, 10 Maret 2009

Nelayan Lembata Belum Punya Alat Tangkap

JUMLAH RTP di Kabupaten Lembata sebanyak 2.291 RTP, tak sebanding dengan kepemilikan sarana penangkapan ikan. Dari 2.291 RTP, hanya 26,14 persen atau 615 RTP yasng memiliki sarana tangkap ikan bermotor. Berarti masih sebanyak 1.676 atau 73,16 persen belum memiliki sarana penangkapan ikan.Kepala Dinas (Kadis) Perikanan dan Kelautan Kabupaten Lembata, Paulus Kedang, S.Pi, M.Si, mengungkapkan hal ini saat penyerahan paket bantuan bergulir sarana penangkapan ikan tahun 2008, Rabu (3/3/2009), di Lopo Moting Lomblen. Penyerahan dilakukan Bupati Lembata, Drs. Andreas Duli Manuk, dihadiri Wabup, Drs. Andreas Nula Liliweri, Sekab Lembata, Drs. Petrus Atawolo, M.Si, kelompok penerima bantuan dan undangan.Paulus menjelaskan, jumlah 2.291 RTP hanya didukung sarana penangkapan ikan sampan/jukun 1.569 unit, motor tempel 418 unit, kapal motor kapasitas kurang dari 5 GT 169 unit, kapal motor kapasitas lebih dari 5 GT 28 unit dan empat unit bagan. Sedangkan jumlah alat tangkap berupa handline 1.365 unit, gill net 536 unit, purse seiner 31 unit dan alat bantu penangkapan ikan berupa rumpon 42 unit. Dengan jumlah sarana penangkapan ini, kata Paulus, nelayan Lembata baru mampu memproduksi hasil tangkapan 2.448,21 ton ikan/tahun, atau 23,12 persen dari potensi lestari penangkapan ikan 10.587,5 ton/tahun. Meski terdapat berbagai hambatan, Dinas Perikanan dan Kelautan Lembata akan berupaya meningkatkan produksi tangkapan ikan dari 2.448,21 ton/tahun menjadi 2.769,22 ton/tahun atau naik 13,11 persen pada tahun 2010.Selain keterbatasan sarana dan alat tangkap, demikian Paulus, keterbatasan sumber daya manusia PNS perikanan ikut menghambat pertumbuhan produksi perikanan. Dari 31 pegawai, hanya 15 staf punya spesifikasi teknis perikanan. Ada seksi yang belum terisi, bahkan belum memiliki staf sehingga berdampak pada pelaksanaan tugas pembinaan, pendampingan, pengawasan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan.Dikatakannya, enam unit purse seiner 16 GT diberikan kepada kelompok nelayan Ujung Pasir, di Desa Balauring, kelompok Imanuel di Lewoleba Tengah, kelompok Napoleon di Desa Dua Wutun, kelompok Tite Ta di Lamalera B, kelompok Asmara Luma Lumba-Lumba di Tapolangu, dan kelompok nelayan Liat Aman di Kelurahan Lewoleba Tengah. Sedangkan empat unit sarana penangkapan ikan gillnet 5 GT didistribusikan kepada kelompok nelayan Leur Lewang di Buriwutung, Mapa Lolon di Desa Atakore, Seguni di Lamalera A dan kelompok Sabar di Desa Balauring.Ia menambahkan,72, 59 persen wilayah Lembata merupakan wilayah laut memiliki sumber daya kelautan dan perikanan yang potensial seperti ikan tuna, cakalang, tongkol, layang, kakap, kerapu dan lobster, berbagai jenis teripang, kerang dan rumput laut.Bupati Lembata, Drs.Andreas Duli Manuk, minta kelompok nelayan penerima bantuan mengoptimalkan sarana penangkapan untuk kepentingan kelompok dan memberikan dampak kepada masyarakat sekitar. "Harga ikan dibeli masyarakat untuk kebutuhan lebih terjangkau, lebih murah dibanding sebelum ada peralatan tangkap," harap Andreas.Semakin banyak nelayan Lembata memiliki peralatan tangkap akan membantu pemerintah melindungi wilayah perairan dari usaha pemboman ikan yang merusak biota laut dan nelayan ilegal mencuri ikan. Ia mengimbau kepala desa dan camat mengawasi bantuan supaya dioptimalkan bagi kepentingan kelompok nelayan yang kelak bisa memberi kontribusi kepada pemerintah.

Jumat, 06 Maret 2009

Lamalera, Ikan Paus dan Konservasi Kehidupan

Oleh Charles Beraf
Wartawan, dosen pada Uniflor Ende dan Breung Alep Penerbit Lamalera - Jakarta
MENURUT rencana, laut sawu di Nusa Tenggara Timur (NTT) akan dideklarasikan sebagai kawasan konservasi nasional untuk melindungi mamalia laut khususnya ikan paus yang dianggap terancam punah. Direktur Konservasi dan Taman Nasional Laut Ditjen Kelautan Pesisir dan Pulau Pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Agus Dermawan, di Bogor, mengatakan, rencana deklarasi Laut Sawu sebagai kawasan konservasi nasional akan dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan "World Ocean Confrence and Coral Triangle Initiative Summit" di Manado, Sulawesi Utara, Mei mendatang. Rencana ini, menurut Dermawan, didukung Pemerintah NTT (AntaraNews, 12/2/2009).Rencana besar ini di satu sisi bisa dilihat sebagai suatu sikap proaktif pemerintah terhadap kampanye global tentang perlindungan terhadap satwa langka. Ikan paus yang oleh banyak pihak dikategorikan sebagai satwa langka patut mendapat perlindungan, yakni dengan mengkoservasi kawasan lalu lintas yang dilalui ikan paus, seperti laut sawu di NTT. Namun di sisi lain jika rencana besar ini terealisasi maka berdampak destruktif terhadap kehidupan masyarakat yang selama ini tidak bisa tidak menggantungkan hidupnya dari Laut Sawu. Dalam konteks Lamalera - desa penangkap (bukan pemburu) ikan paus di NTT, rencana besar itu tampaknya mesti dicermati lebih jauh. Penangkapan ikan paus yang telah dilakonkan masyarakat adat Lamalera di NTT bukan sekadar suatu aktivitas konsumtif, melainkan lebih dari itu telah menjadi suatu aktivitas kultural, sosial dan religius masyarakat Lamalera- suatu hal yang jarang dijumpai di belahan dunia mana pun. Dimensi spasial inilah yang mesti ditelaah, selain demi memahami mengapa masyarakat Lamalera tetap (bersikukuh) memilih dan menghidupi cara ini, juga demi menentukan cara yang ramah dalam rangka konservasi. Lamalera dan pausMasyarakat Lamalera terdiri dari beberapa komunitas kekerabatan yang disebut suku atau marga. Secara historis, masyarakat Lamalera sesungguhnya bukan penduduk asli Pulau Lembata. Kelompok eksodus pertama datang dari Kerajaan Luwuk di Sulawesi Selatan ketika terjadi penaklukan kerajaan-kerajaan di Sulawesi (seperti Kerajaan Bone, Luwuk dan Sopeng) oleh Kerajaan Majapahit semasa Pemerintahan Prabu Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada. Eksodus ini diawali dengan mengikuti armada perang Patih Gajah Mada. Dalam eksodus ini, mereka menyinggahi beberapa daerah, antara lain Pulau Seram, Gorom, Ambon dan kemudian tiba dan menetap di Keroko Tafa Teria Gere atau Pulau Lepanbatan. Namun beberapa waktu kemudian eksodus terjadi lagi ketika Pulau Lepanbatan diterjang bencana. Mereka menyeberang ke Pulau Lembata dengan perahu yang bernama kebakopukâ dan menyinggahi beberapa tempat, antara lain Tanjung Gelu Gala, Fai Teba, Tanjung Atadei, Levo Bala dan akhirnya menetap di Ue Ulu Mado Doni Nusa Lela (sekarang bernama Wulandoni). Selama berada di tempat ini, mereka menjalani kegiatan lefa (melaut) di sekitar parairan Ue Ulu Mado Doni Nusa Lela. Namun, kerapkali mereka terbawa arus ke barat - di wilayah yang sekarang disebut Lamalera. Di wilayah ini mereka menemukan bahwa ada tempat yang cocok untuk melabuhkan dan mengamankan perahu (kné) dan ada sumber air yang bisa dikonsumsi (vai meting). Penemuan ini turut mendorong mereka untuk berpindah dari Ue Ulu Mado Doni Nusa Lela ke Lamalera. Kelompok eksodus ini terdiri dari tiga marga/suku, yakni Levo hajjo (Blikololong), Lamanudek dan Tanahkrova. Tiga marga ini disebut sebagai lika telo (tiga tungku). Levo Hajjo melahirkan suku Blikololong, Bataona dan Levo Tuká. Suku Bataona melahirkan tiga suku, yakni Bediona, Batafor dan Sulaona. Inilah kelompok eksodus yang pertama mendiami Lamalera. Setelah beberapa waktu menyusullah suku/marga lain dari beberapa daerah di Timor, Flores, Solor dan berdiam bersama di Lamalera. Beberapa marga atau suku itu antara lain, Lamakera, Tapooná, Lamanifak, Atakei, Oleoná, Lefolei, Ebaoná, Lelaoná dan Atafollo. Kebersamaan yang cukup lama telah menyatukan mereka dalam adat, tradisi yang sama, termasuk di dalamnya tradisi penangkapan ikan Paus atau dalam bahasa setempat disebut tena laja (perahu layar).Meski demikian, bila dirunut secara historis, tradisi tena laja bukan muncul setelah suku-suku ini berada dan berdiam di Lamalera, tetapi dibawa bersamaan dengan eksodus mereka dari Luwuk - Sulawesi, yakni sekitar abad ke-14. Syair Lia asa usu Lamalera bisa menggambarkan hal ini: "Seba olak lau lêfa harri lollo dai épitká, dai marangká apé tafa géré raé motti Lango Fujjo raé morri Nara Gua Tana. Feffa bélàkà Bapa Raja Hayam Wuruk pasa-pasa pekkà lefuk lau Luwuk (Kucari nafkah di tengah laut kembali ke pantai merapat ke pinggir, tampak nyala api di tempat Lango Fujjo - nama lain dari Lamalera, di sana, di Gubuk Nara Gua Tana. Dan demi Kehendak Bapa Raja Hayam Wuruk terpaksa kutinggalkan desaku di Luwuk sana) (Bdk. Gorys Keraf, Morfologi Dialek Lamalera (ms, 1978) pp.229-230).Kuatnya interaksi dan kohesi sosial antarsuku Lamalera dari waktu ke waktu turut pula memperkukuh tradisi tena laja. Begitu pula sebaliknya dari tena laja mereka hidup, bergantung dan membangun jejaring hidup dengan yang lain, membina relasi intersubyektif dengan siapa saja. Dalam hal pembagian hasil tangkapan misalnya, siapa pun di kampung itu, terutama para janda dan yatim piatu, meski tidak ikut melaut, tetap diberi jatah (gratis) sebagai tanda kesatuan dan persaudaraan. Lebih dari itu, ketika agama modern masuk (Katolik Roma) ke Lamalera pada tahun 1881, tradisi ini sama sekali tidak dihilangkan, tetapi justru semakin diberi makna, bobot religius yang tinggi - suatu hal yang sudah semakin sering diabaikan, terutama oleh mereka yang mengaku diri sebagai agamawan. Sebelum, selama dan sesudah kegiatan penangkapan ikan paus selalu diadakan kebaktian secara Katolik (misa lefa/laut), doa dan pemberkatan dari pastor (pendeta Katolik) untuk memohon restu dan perlindungan dari Ama Lera Wulan Tana Ekan (sebutan untuk Allah). Sampai di sini jelas bahwa tradisi tena laja tidak hanya sekadar merepresentasikan, tapi juga mengabadikan (mempertahankan) korps, keberadaan orang-orang Lamalera sebagai tubuh yang hidup. Hidup dengan pengertian, makna, filosofi, hasrat dan persepsi kultural tertentu diwujudkan dengan menghidupkan tradisi ini. Melalui penghidupan ini, orang-orang Lamalera dimungkinkan untuk menemukan dan mendefinisikan identitas mereka sendiri di hadapan suatu entitas sosial atau kultural tertentu; indentitas sosial telah banyak berurusan dengan bagaimana suatu masyarakat memahami karya yang diolahnya sendiri dan karya orang lain. Dengan kata lain, upaya penghidupan ini tidak lain adalah cara vital orang-orang Lamalera dalam melanggengkan pengertian, makna, hasrat dan filosofi yang sudah dianutnya. Menyikapi ancaman kepunahan Suku-suku di Lamalera adalah satu-satunya etnis di Indonesia, yang sampai sekarang masih menangkap ikan paus secara adat dengan peralatan tradisional. Paus yang ditangkap adalah jenis sperm whale (physeter macrocephalus) atau paus berkepala besar. Jenis ini bergigi terbesar dan berbobot antara 25 sampai dengan 50 ton perekor. Masyarakat Lamalera pantang menangkap paus tak bergigi (seperti tebang pilih di hutan), terutama jenis paus biru, yang bobotnya bisa sampai 120 ton. Menurut data terakhir dari the Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora, habitat paus kepala besar merata di seluruh dunia, mulai dari kawasan kutub, sampai ke laut tropis, termasuk di laut Sawu (tidak hanya di Lamalera). Populasi jenis paus ini masih sangat besar, berkisar antara 200.000 sampai dengan dua juta ekor. Sementara jenis paus lain, seperti atlantic northern right whale dan pacific northern right whale populasinya tinggal ratusan ekor (Bdk. F. Rahardi, "Menyadap Energi Lamalera" dalam Maria Andriana C.s, Merayakan Cinta (Jakarta: Penerbit Lamalera, 2008), p. 79).Jelas di sini bahwa masalah ancaman kepunahan saat ini bukan terutama disebabkan oleh aktivitas penangkapan secara tradisional. Meski tidak menjadi sasaran penangkapan orang- orang Lamalera, atlantic northern right whale dan pacific northern right whale terancam punah. Sebaliknya, bisa diduga, seperti satwa besar lain di darat, kepunahan bisa terjadi secara natural atau juga karena alam lingkungan yang tak layak huni (misalnya sudah teracuni oleh unsur-unsur kimiawi tertentu). Hemat saya, perlu dipikirkan (ulang) secara lebih matang upaya konservasi Laut Sawu di NTT seperti misalnya mengalihkan atau mengurangi aktivitas penangkapan yang dilakukan orang-orang Lamalera guna membendung kepunahan yang terjadi. Demi kelanggengan tradisi yang amat langka dan berharga itu serta kelanggengan kehidupan di Lamalera, bisa ditempuh juga cara-cara alternatif lain guna menjadikan habitat paus sebagai habitat yang aman, seperti pengendalian atau pengalihan limbah industri, larangan penggunaan alat-alat modern dalam penangkapan, dan sebagainya. Singkat kata, kita tidak bisa menggunakan alasan kehidupan dengan cara menghabiskan (secara perlahan sekalipun) kehidupan orang-orang lain, termasuk tradisi hidup yang sudah sangat mengakar itu. *

Kasus Illegal Logging di Lembata: PT Kupang Batalkan Putusan PN Lewoleba

Laporan Yosep Sudarso/Paul Burin
KUPANG, PK -- Majelis hakim Pengadilan Tinggi (PT) Kupang, membatalkan Putusan Pengadilan Negeri (PN) Lewoleba tanggal 10 Desember 2008 nomor : 55/PID.B/2008/PN. Dalam putusannya, PN Lewoleba menyatakan terdakwa, Gregorius Molan, Cs bersalah dan karena itu dijatuhi hukuman penjara yang bervariasi dan denda masing-masing Rp 100 juta. Namun, majelis hakim PT Kupang membatalkan putusan tersebut dan membebaskan para terdakwa dari dakwaan jaksa penuntut umum.Petikan putusan majelis hakim PT Kupang ini diperoleh Pos Kupang dari penasehat hukum para terdakwa, Petrus Bala Pattyona, S.H, M.Hum, dan Paulus Kopong, S.H, beberapa waktu lalu. Ketua majelis hakim perkara ini, Jasinta Daniel, S.H, membenarkan hal ini."Benar bahwa kami sudah putus bebas para terdakwa kasus illegal logging di Lembata. Tetapi saya minta maaf karena tidak punya kapasitas menjelaskan pertimbangan hukumnya. Kode etik kami melarang hakim untuk membuat pernyataan di luar sidang. Saya hanya bisa katakan, upaya banding perkara itu sudah kami sidangkan dan hasilnya seperti petikan yang Pos Kupang terima dari penasehat hukum para terdakwa," ujar hakim asal Nita, Sikka, ketika dikonfirmasi di ruang kerjanya, Jumat (6/3/2009).Dalam petikan putusan bernomor 24/PID/2009/PTK, diketahui, majelis hakim terdiri dari Jasinta Daniel, S.H selaku ketua, dan hakim anggota, YB Gunadi, S.H, dan I Gede Yasa, S. H. Sidang ini dilangsungkan di PT Kupang, 25 Februari 2009 lalu. Dalam sidang ini, majelis hakim menyatakan, telah memeriksa dan mengadili perkara pidana dengan terdakwa, yakni tiga warga Desa Puor, Kecamatan Wulandoni, masing- masing Lodofikus Tana Leban alias Fikus, Lorensius Kia Liman alias Lorens, Mateus Boli Leban alias Teus, dan Gregorius Molan alias Goris, dari Desa Belobatan, Kecamatan Nubatukan.Majelis hakim dalam amar putusannya yang dibacakan tanggal 25 Februari 2009 lalu menyatakan delapan hal. Kedelapan putusan tersebut, yakni menerima permintaan banding dari para terdakwa, membatalkan putusan PN Lembata tanggal 10 Desember 2008 Nomor : 55/PID.B/2008/PN, menyatakan para terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan penuntut umum, membebaskan para terdakwa, memerintahkan supaya para terdakwa dikeluarkan dari tahanan, memulihkan hak para terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, harkat dan martabatnya, memerintahkan agar barang bukti dikembalikan kepada para terdakwa, dan membebankan biaya perkara dalam semua tingkat peradilan kepada negara.Barang bukti yang harus dikembalikan kepada para terdakwa, antara lain satu unit mesin chainsaw merek STHIL kepada Laurens Kia Liman. Sedangkan kepada terdakwa, Gregorius Molan, satu unit chainsaw merek STHIL 070 jenis kodok berwarna orange, 254 batang balok ukuran 6 X 12 dengan panjang empat meter, 14 batang balok ukuran 5 X 10 dengan panjang empat meter, 21 batang balok ukuran 5 X 10 dengan panjang empat meter dan 37 batang balok dengan ukuran 6 X 12 empat meter. Para terdakwa dihukum dengan putusan PN Lewoleba Nomor 55/PID.B/2008/PN LBT, tanggal 10 Desember 2008. Mereka adalah Gregorius Molan dipidana penjara 1,9 bulan, denda Rp 100 juta, Lodofikus Tana Leban dan Laurensius Kia Liman dipidana penjara masing-masing 1,6 bulan denda Rp 100 juta, dan Matheus Boli Leban dipidana penjara 1,3 bulan dengan denda Rp 100 juta.Selain itu barang bukti berupa 326 batang balok, 11 lembar papan dan dua unit chainsaw dirampas untuk negara. Para hakim yang mengadili perkara ini, yakni Karlen Parhusip, S.H, (hakim ketua) dibantu LM Sandi Iramaya, S.H, dan Dedy Haryanto, S.H. Pengacara Petrus Bala Pattyona, S.H, M.Hum, ketika dimintai komentarnya per telepon, Jumat (6/3/2009), mengatakan, sesuai pasal 243 KUHAP, maka jaksa tak punya hak untuk melakukan kasasi. Pattyona mengatakan, putusan PT NTT sudah tepat karena menebang pohon di kebun sendiri tak dapat dikatakan illegal logging sebagaimana dituduhkan kepada kliennya itu. Ia menilai, satu-satunya kasus di Indonesia bahkan dunia terjadi di Lembata. Di mana warga menebang pohon di kebun sendiri dihukum seberat- beratnya. (dar/pol)

Rabu, 04 Maret 2009

Gubernur NTT Lolos dari Maut


Jumat, 6 Februari 2009 12:52 WIB
LARANTUKA, JUMAT — Sebuah perahu motor yang ditumpangi Gubernur NTT Frans Lebu Raya dan rombongan, lolos dari hantaman gelombang besar dan angin kencang. Insiden itu terjadi ketika rombongan Gubernur hendak berlayar menuju Larantuka, ibu kota Kabupaten Flores Timur, di ujung timur Pulau Flores, Jumat. Perahu motor "Tri Sakti" tersebut mengangkut rombongan Gubernur NTT, termasuk di antaranya Wakil Bupati Flores Timur, Yoseph Laga Doni Herin, dari Pelabuhan Terong di Pulau Adonara sekitar pukul 10.15 Wita. Ketika memasuki wilayah perairan di sekitar Tanjung Gemuk, amukan gelombang dan angin kencang mulai menyerang badan kapal yang disertai pula dengan hujan lebat. Wartawan ANTARA Lorensius Molan yang ikut serta dalam rombongan tersebut melukiskan, wilayah sekitarnya tampak gelap karena tertutup hujan lebat dan yang tampak hanyalah gulungan gelombang besar sambil melepaskan buih putih di wilayah perairan sekitarnya. Perahu motor yang dikemudikan Muslimim, terus melaju dengan kecepatan yang stabil di tengah hantaman gelombang yang mencemaskan rombongan Gubernur NTT pada saat itu. Muslimin tampak cukup lihai mengendalikan kemudi kapal sehingga dengan lincah pula melakukan manuver di tengah gelombang besar. "Perahu motor ini biasa kami gunakan untuk melakukan kunjungan kerja ke pulau-pulau sehingga saya tidak terlalu khawatir. Nakhoda kapalnya hebat jika dihantam gelombang besar," kata Wakil Bupati Flores Timur, Yoseph Laga Doni Herin, ketika membisiki ANTARA soal gelombang laut tersebut. "Kami di sini cemas sekali karena melihat keadaan gelombang laut yang tidak bersahabat," komentar Kasubag Humas dan Protokol Pemkab Flores Timur, Rien Riberu ketika rombongan Gubernur NTT tiba di rumah jabatan Bupati Flores Timur di jantung kota Larantuka. "Ada anggota rombongan yang sport jantung dalam pelayaran tersebut. Tapi, kami semua akhirnya tiba dengan selamat di Larantuka," kata Gubernur Lebu Raya ketika bertatap muka dengan Pemkab Flores Timur yang dipandu Bupati Simon Hayon. Selama sekitar dua jam, perahu motor "Tri Sakti" yang ditumpangi Gubernur NTT dan rombongan berada dalam kepungan dan hantaman gelombang besar dan angin kencang serta hujan lebat sampai tiba di Pelabuhan Larantuka sekitar pukul 12.15 Wita.
Sumber : Antara

Para Jompo Bisa Memotivasi Gubernur



KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA
Uskup (emeritus) Atambua Mgr Anton Pain Ratu SVD bersalaman dengan Gubernur NTT Frans Lebu Raya. Pain Ratu memberi peneguhan kepada Lebu Raya agar tetap berpijak pada kebenaran dalam membangun daerah itu. Masyarakat NTT mengharapkan adanya perubahan dalam 5 tahun masa kepemimpinan Lebu Raya.
/

Kamis, 5 Maret 2009 09:21 WIB
MAUMERE, KAMIS — Gubernur Nusa Tenggara Timur Frans Lebu Raya menyatakan sangat termotivasi oleh para jompo yang masih tetap bersemangat meski sudah memasuki usia senja. "Saya sangat kagum karena suara opa oma masih tetap lantang ketika menyanyikan mars 'Lanjut Usia' dan masih menari dengan baik ketika menyambut saya bersama rombongan," katanya. Gubernur Lebu Raya mengungkapkan perasaannya tersebut ketika bertemu dengan para jompo di Panti Paduwae Waipare Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka, Pulau Flores, Kamis (5/4). Ketika berkunjung ke panti tersebut, Gubernur Lebu Raya didampingi Ny Lucia Adinda Lebu Raya, Ketua DPRD NTT Melkianus Adoe, Wakil Ketua DPRD NTT Kristo Blasin, Bupati Sikka Sosimus Mitang, dan Wakil Bupati Sikka Wera Damianus. Panti berkapasitas 80 orang yang didirikan Departemen Sosial pada tahun 1984 itu sudah menampung sekitar 72 orang lanjut usia yang berasal dari sembilan kabupaten di NTT. Gubernur Lebu Raya mengatakan, pesan yang disampaikan opa oma lewat lagu dan tarian tersebut membangkitkan semangat para pemimpin di NTT untuk lebih bersemangat berkarya dalam membangun daerah ini demi meningkatkan kesejahteraan rakyat. Salah seorang penghuni panti, Paulina Mada (80), mengatakan, kehidupan mereka di panti cukup baik, tetapi panti ini tidak memiliki ambulans sehingga membuat mereka cemas jika kelak meninggal dunia di panti tersebut. "Ada teman kami yang telah meninggal, tetapi kesulitan saat diantar kepada keluarganya karena tidak ada mobil. Karena itu, kami harapkan ada ambulans untuk panti ini," katanya.

Seorang Lagi Terindikasi Idap HIV di Lembata


LEWOLEBA, KAMIS - Pemeriksaan darah tahap pertama dan tanda-tanda klinis yang diderita, seorang ayah dengan dua orang anak asal Kabupaten Lembata terindikasi positif mengidap HIV. Temuan penderita baru ini menambahkan deretan jumlah penderita HIV/AIDS asal Lembata menjadi 34 penderita dari jumlah diakhir bulan Oktober 2008 sebanyak 33 penderita."Pengidap sedang kami rawat dan segera dilakukan pemeriksaan darah tahap kedua secara menyeluruh sebelum korban dirujuk ke RSUD TC Hillers Maumere yang memiliki klinik VCT," kata Conselor profesional HIV/AIDS RSUD Lembata, dr.Bernad Yosep Beda, ketika dikonformasi Pos Kupang, di Lewoleba, Rabu (5/11).Keterangan lain yang diperoleh Pos Kupang menyebutkan pengidap HIV ini adalah warga Balauring, Kecamatan Omesuri, dirujuk pihak Puskesmas Balauring ke RSUD Lewoleba pada hari Senin (4/11/2008).Mereka menemukan penderita mengalami sakit malaria dan batuk berat. Pihak Puskesmas yang tak memiliki sumber daya yang cukup lalu merujuknya ke RSUD guna menjalani perawatan intensif.Sementara Ketua Harian Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Lembata, Drs.Andreas Nula Liliweri, Selasa siang (4/11/2008) sebelum menemui dokter Bernad mengaku belum menerima laporan temuan pengidap HIV baru itu. "Saya mau ke RSU tapi saya belum terima laporan itu," kata Liliweri di Kantor Bupati Lembata.Bernad menambahkan, pemeriksaan darah tahap pertama dilakukan hari Senin ditemukan penderita positif terjangkit HIV. Namun untuk menegakkan standar pemeriksaan harus dijalani pemeriksan darah tahap kedua sampai ketiga dan pemeriksan fisik menyeluruh sambil mengikuti perkembangan gejalah klinis penderita."Kekurangan kita melakukan pemeriksaan CD4 atau pemeriksaan HIV pertama dalam tubuh," kata Bernad. Dikatakannya, berdasarkan ciri-ciri klinis, penderita tersebut memasuki stadium dua. Hal ini tampak pada berat badan penderita yang terus menurun, terdapat candidiasis oral atau jamur dalam mulut, penyakit paru-paru (TBC), kelainan pada kulit (alergi) dan hemoglobin (HB) yang mencapai delapan.Latar belakang penderita, kata Bernad, pernah merantau ke Malaysia sekitar lima sampai enam tahun, dan tiga sampai empat tahun di Singapura. Dugaan kuat penyakit ini terjangkit ketika penderita berada di dua daerah perantauan itu. Masa inkubasi virus ini dalam tubuh cukup lama lima hingga sepuluh tahun dan setelah 10 tahun barulah mulai kelihatan ciri-ciri penderitanya.Mengenai kemungkinan terjangkitnya virus yang akan berkembang menjadi AIDS kepada istri dan kedua anaknya, Bernad mengatakan kemungkinan itu bisa terjadi. Karena itu perlu dilakukan konseling untuk dilakukan pemeriksaan dini.Ia menambahkan, meski pemeriksaan darah tahap pertama telah menemukan indikasi positif HIV, penderita tetap menjalani pemeriksaan darah menyeluruh dan fungsi hati. Setelah hasil pemeriksaan ini bisa diketahui kondisi keseluruhan penderita dan akan dirujuk ke RSUD TC Hillers Maumere yang memilik klinik VCT.Terus bertambahnya angka penderita HIV, Bernad menyarankan pemerintah daerah segera menyiapkan fasilitas VCT. "Daripada setiap kali ditemukan penderita, kita merujuk ke RS yang punya VCT di Maumere atau Kupang. Syukur kalau diterima tapi ditolak kita harus merawat dengan fasilitas kita yang terbatas," ujar Bernad.Temuan penderita HIV dan AIDS di Lembata, kata Bernad seperti fenomena gunung es. Para penderita yang ditemukan setelah mengalami sakit berat dan berobat ke rumah sakit setempat. Tetapi kemungkinan ada segelintir orang lain yang potensial telah terinfeksi, namun tak mengetahui kalau ada virus mematikan itu dalam tubunya."Penderita yang diketahui terserang HIV/AIDS karena sakitnya sudah parah. Yang masuk RS sudah stadium dua bahkan ada yang sudah parah dan langsung diinfus," tandas Bernad.Ia menyarankan KPAD Lembata melakukan sosialiasi gencar kepada warganya bahaya penyakit HIV/AIDS. Jangan menunggu ada uang baru dilakukan sosialiasi sementara kemungkinan penyakit itu telah berjangkit kepada orang lain.Kabag Humas Setda Lembata, Drs.Ambros Lein, mengatakan walau 99 persen penderita HIV/AIDS merupakan mantan perantauan namun tidak dimaksudkan memvonis perantau asal Lembata menjadi sumber penularan penyakit itu.Ia menyarankan para perantau yang bekerja di Malaysia, Singapura maupun di dalam negeri agar lebih berhati-hati bergaul. Ia menyarankan warga Lembata yang kemungkinan potensial terjangkit virus dapat memeriksakan darah..Berdasarkan data KPAD, penderita HIV/AIDS Lembata cenderung bertambah setiap tahun. Pada 2003 ditemukan tiga penderita dan semuanya telah meninggal dunia, namun dalam kurun waktu enam tahun jumlah penderita menjadi 34 orang meliputi 23 pria dan 11 perempuan, 25 di sudah meninggal dunia dan sembilan penderita masih hidup. (ius)

Anak-anak Lembata Rentan Terkena Busung Lapar

Anak-anak Lembata Rentan Terkena Busung Lapar Gizi.net - Anak-anak desa di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, kini dikhawatirkan rentan terkena penyakit busung lapar menyusul buruknya ketersediaan pangan akibat gagal panen. Pantauan khusus harus dilakukan di desa-desa yang warganya telah mengonsumsi buah bakau dan kacang hutan. Sementara Perum Bulog menyatakan siap membantu kebutuhan beras bisa ada permintaan alokasi beras dari dinas sosial setempat. Saat ini Bulog tengah mengirim 500 ton beras langsung ke Lembata.Kepala Dinas Kesehatan Lembata Jhony Laoh, dan Kepala Bagian Humas Pemkab Lembata Karolus Kia Burin, Minggu (20/3) mengaku khawatir akan muncul penyakit busung lapar. Hal itu menjadi fokus kepedulian Bupati Lembata Andreas Duli Manuk.Karolus mengatakan, Bupati Andreas telah memerintahkan dinas kesehatan setempat untuk proaktif memantau kondisi kesehatan warga dengan prioritas utama anak-anak hingga usia sekolah dasar (SD).Dia menjelaskan, krisis pangan dan ancaman kelaparan dari hasil pendataan sementara telah menyerang warga di 60 desa. Sebagian bahkan telah terancam atau mengalami kelaparan hingga terpaksa makan buah bakau dan kacang hutan.Menurut Karolus, "Karena sudah ada warga yang makan kacang hutan dan buah bakau, bupati khawatirkan kesehatan anak-anak," katanya.Pantauan terhadap kondisi kesehatan anak itu akan dimulai di 22 di Ile Ape. "Permintaan bupati agar kami segera memantau kesehatan anak-anak karena dikhawatirkan kekurangan gizi dan menderita busung lapar, mempertegas adanya kenyataan krisis pangan dan kelaparan," katanya.Tertekan, sudah parahSetelah tiba di Maumere, dalam perjalanan pulang ke Kupang kemarin, Kompas ditelepon oleh Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Lembata Virgilius Natal. Dia ingin berbicara untuk menjelaskan beberapa hal terkait masalah gagal panen dan ancaman rawan pangan di Lembata.Virgilius mengaku berada di Maumere, kota Kabupaten Sikka, sejak Kamis (17/3) lalu karena isterinya dirawat pascaoperasi di Rumah Sakit Umum TC Hillers Maumere. Dia mengaku tertekan oleh berbagai pihak setelah mengungkap fakta gagal panen dan ancaman kelaparan di wilayahnya.Hal prinsip yang sulit dimengertinya adalah mengapa ada beberapa pejabat di tingkat pusat memintanya mengatakan tidak ada ancaman kelaparan di Lembata."Lalu saya mau ngomong apa. Saya sulit memahaminya. Saya ini memang baru menjabat sebagai kepala dinas. Jika karena masalah ini posisi saya terancam, saya rela asal demi rakyat," katanya.Menurut Virgilius, karena tugasnya sebagai pejabat pada dinas teknis yang menetap di Lembata, dia tahu persis kondisi warga di desa-desanya."Saya tidak bisa mengatakan lain jika faktanya demikian. Wartawan juga bisa melihat sendiri, memotret fakta itu, karena memang itu faktanya," katanya.Kepadanya dijelaskan, Kompas menemukan dan mengambil gambar warga yang telah mengonsumsi buah bakau dan kacang hutan. Selain itu ada warga yang mengonsumsi jagung dimasak campur daun singkong dan daun kelor. "Kalau seperti itu, berarti kondisinya sudah parah sekali," katanya.Dia menjelaskan, kondisi saat ini sangat parah, mirip tahun 1960-an ketika warga desa mengonsumsi buah bakau dan kacang hutan, termasuk biji balam yang biasa menjadi mainan anak-anak. Dia mengatakan, sebagai pelayan masyarakat, pemerintah harusnya prihatin akan kondisi ini.Menurut Virgilius, agar tidak terulang krisis pangan, perlu pendekatan tekonologi seperti sumur pompa. Introduksi program pembangunan pertanian Lembata juga cukup hanya setahun, tetapi harus dikawal hingga jangka waktu tertentu."Jika ada program pendampingan, sebaiknya digulirkan terus, kita kawal hingga jangka waktu misalnya lima tahun," katanya.Dirjen Tanaman Pangan Ir Mohammad Jafar Hafsah mengatakan, Selasa (22/3) dia akan mengirim dua tim ke NTT.Beberapa langkah akan dilakukan untuk mengatasi masalah kekeringan, antara lain membantu 10 unit pompa sumur air tanah, sedang Deptan dan Depsos siap mengirimkan beras bantuan dari Bulog tahap pertama sebanyak 60 ton.

PEMERINTAH KABUPATEN LEMBATA BANGUN DEPOT MINI BBM

Selama ini BBM yang ada di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT), dipasok dari Pertamina Maumere Kabupaten Sika. Hal ini tentu menjadi masalah tersendiri bagi Agen Premium Minyak Solar (APMS) dan Agen Minyak Tanah (AMT) dalam proses pengangkutan ke Lewoleba Kabupaten Lembata.
Akibatnya resiko losis yang cukup tinggi serta terbakar maupun tenggelamnya kapal pengangkut sangat mungkin terjadi ketika menghadapi badai dan musim barat. Masalah yang tidak kalah pelik adalah kuota BBM yang ditetapkan untuk Kabupaten Lembata tidak mampu memenuhi kebutuhan BBM saat ini maupun proyeksi kebutuhan yang akan datang.
Bupati Lembata, Andreas Duli Manuk, saat menyambangi kantor BPH Migas baru-baru ini menyatakan, dengan adanya Depot Mini dan dibantu dengan tambahan pasokan BBM, Lembata sudah bisa mandiri dalam memenuhi pasokan BBM. Selain itu masalah juga ada pada disparitas harga. Premium dan Solar yang memiliki harga baku Rp 4500, dijual dengan harga Rp 5100, dan Minyak Tanah seharga Rp 2500 dijual dengan harga Rp 2900.
Menanggapi hal ini, kepala BPH Migas mendukung upaya pemerintah Kabupaten Lembata dalam pengembangan Depot Mini tersebut. “ Kami menyambut gembira program ini. Kalau program ini sukses, kita bisa jadikan ini sebagai percontohan,” jelas Tubagus.
Mengenai kekurangan kuota BBM di Lembata, BPH Migas akan membuka jalan agar Lembata bisa mendapatkan BBM tidak hanya dari Pertamina tapi juga Badan Usaha lain seperti Shell, Petronas, dengan harga BBM keekonomian. Untuk BBM bersubsidi, quota nasional sudah ditetapkan oleh DPR-RI
Dalam kesempatan yang sama Anggota Komite BPH Migas Adi Subagyo menambahkan, bahwa keinginan Pemkab Lembata untuk penambahan Quota BBM dalam hal ini Minyak Tanah rasa-rasanya sulit karena program pemerintah sudah jelas mau melakukan program konversi dari Minyak Tanah ke elpiji. “ Oleh karena itu kami sarankan, untuk Minyak Tanah ini sebaiknya memang didorong untuk menggunakan energi lain seperti elpiji dan batubara,” jelasnya.
Menyoroti mengenai pengangkutan BBM ke Depot Mini tersebut, Anggota Komite BPH Migas, Ibrahim Hasyim menjelaskan kapal pertamina hanya memiliki kapasitas minimal satu kali angkut 3500 Kl. Masih menurutnya, tidak semua depot memiliki fasilitas back loading.
Kepala BPH Migas berpesan agar Pemkab Lembata terus berkoordinasi dengan Pertamina (Persero) secara intensif.
Pembangunan Depot Mini ini telah mencapai 96 persen dan rencana akan selesai pada 31 Maret 2009. Depot ini memiliki empat buah tangki dengan kapasitas masing-masing tangki 300 Kl.
Sumber : bphmigas.go.id

Wartawan Laporkan Kepala Telkom Lembata ke Polisi

Wartawan Harian Flores Pos Maxi Gantung di Lembata, Nusa Tenggara Timur melaporkan Kepala Kantor Telkom Lembata Jefta Loak kepada polisi terkait kasus pengancaman dan perbuatan tak menyenangkan.
"Kasus ini sudah dilaporkan ke sini, tentu akan diproses," kata Kepala Kepolisian Resor (Polres) Lembata Ajun Komisaris Besar Geradus Bata Besu, Kamis (12/2), yang dihubungi dari Ende, Flores.
Kasus itu bermula hari Senin (9/2), ketika Maxi ke kantor Telkom guna mengakses internet. Yang bersangkutan lalu mengetik berita. Di kantor Telkom itu terdapat satu unit komputer yang dibuka untuk umum guna mengakses internet.
Menurut pengakuan Maxi, pihak Telkom memberlakukan biaya sewa satu jam untuk penggunaan komputer Rp 5.000, sedangkan untuk akses internet satu jamnya Rp 11.000.
Maxi mengaku menggunakan komputer selama 1 jam untuk mengetik berita dari pukul 12.30 Wita. Setelah itu yang bersangkutan berupaya mengirim berita lewat internet. Namun, karena gangguan teknis koneksi internet sering terputus, berita itu baru terkirim sekitar pukul 16.30.
Semula Maxi memperhitungkan biaya seluruhnya Rp 10.000 karena hanya memakai komputer untuk mengetik selama 1 jam dan beberapa menit mengirim berita lewat internet. Namun, ternyata staf Telkom meminta biaya yang dikenakan sebesar Rp 41.000.
"Saya pun lalu menyerahkan uang Rp 41.000. Tapi kemudian Kepala Telkom (Jefta Loak) ke luar dari ruangannya dengan mengatakan kalau membayar dengan terpaksa lebih baik saya tak usah bayar. Yang saya keberatan, Pak Jefta juga meminta saya jangan lagi menggunakan fasilitas internet di kantor Telkom. Alasannya, saya menggunakan internet terlalu lama," kata Maxi.
Maxi tak bisa menerima pernyataan Jefta itu karena kantor Telkom adalah tempat pelayanan untuk masyarakat sehingga dirinya tetap berhak menggunakan fasilitas internet di kantor tersebut.
Menurut Maxi, Jefta yang rupanya saat itu emosi lalu memegang kerah bajunya dan tangan kanannya mengepal terkesan hendak meninju wajah Maxi. Jefta kemudian memanggil satpam untuk mengeluarkan Maxi dari ruangan kantor Telkom.
Kejadian itu lalu dilaporkan ke Polres Lembata, Selasa (10/2). Pihak penyidik di kepolisian telah mengirimkan surat panggilan untuk Maxi guna dimintai keterangan, Jumat (13/2) besok.
Ketika dikonfirmasi, Jefta Loak tidak bersedia memberikan keterangan. "Cukuplah saudara (pers) meminta keterangan di polisi, semuanya sudah diproses di sana. Saya no comment saja," kata Jefta
Sumber : Kompas. Com

Gugatan di Atas Sebuah Kisah

OlehMega Christina

Judul Buku : Lembata: Sebuah Novel Penulis : F Rahardi Penerbit : Lamalera Cetakan : Pertama, Juli 2008Tebal : 256 halaman.

Nama Lembata terkenal dengan budaya berburu ikan paus di Lamalera, desa pedalaman di pesisir selatan pulau di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Tradisi menangkap ikap paus menggunakan perahu dan alat tangkap tradisional ini telah menjadi objek wisata bahari sekaligus wisata budaya menarik yang mashyur di kalangan penggemar petualangan hingga ke mancanegara. Setahun belakangan nama Lembata mencuat dengan adanya konflik pertambangan yang mendapat izin dari Bupati Lembata dengan rakyat yang menentang Kontrak Karya di atas lahan seluas 91.600 hektare, sementara luas seluruh pulau itu hanya 126.648 hektare. Namun, dalam novel yang ia akui sebagai novel pertamanya, Rahardi tidak banyak menyinggung konflik riuh-reda itu, kecuali di satu bagian Emas LSM-Saint-Etienne-de-Tinee. Rahardi lebih asyik menyajikan konflik lain, konflik batin seorang imam Katolik berbumbu romantika. Awalnya Rahardi membawa pembaca ke sebuah perjalanan menyusuri Adonara, Solor, Gunung Ile Mandiri yang memagari Larantuka. Sayangnya, keindahan pulau-pulau eksotik di bagian timur ini tidak mendapat eksplorasi yang memadai, sebagai sebuah “pemanis” dalam novel. Padahal, sebelumnya Rahardi terkenal sebagai penyair dengan “sihir” kata-kata puitisnya. Namun, Rahardi membukanya dengan cantik melalui percakapan yang lebih mirip monolog tokoh utamanya, Luciola dan Pedro. Sayangnya bentuk dialog dan monolog kemudian nyaris tak dapat dibedakan, mungkin ini bagian dari keunikan awal sebuah novel Rahardi. Singkat cerita bagian pertama yang bertajuk San Dominggo mengisahkan Luciola, gadis cantik mengantar teman kuliahnya, Romo Pedro, seorang pastor yang pulang menghadap pembesarnya, Uskup Larantuka. Dikisahkan keduanya sarjana ekonomi yang baru lulus dari Universitas Atma Jaya, Jakarta.“Aku tahu bangunan paling baik di kota ini pasti rumah bupati dan juga rumah uskup. San Dominggo yang tadi kita lewati itukah rumah uskupmu?” (tanda petik dari peresensi). Begitu Rahardi memulai gugatan halus lewat tokohnya. Setelah menunggu seminggu, Pedro ditugaskan di Lembata. Itu pun ia belum tahu ditempatkan di paroki (satuan setingkat kota, red) yang mana. Tiba di Lewoleba, kota pelabuhan Lembata, Pedro harus menghadap Pastor Dekenat, yang mengepalai 13 paroki di Lembata. Akhirnya ia ditugaskan sebagai pastor pembantu di Paroki Aliuroba ujung timur laut Lembata. Baru di sini Rahardi bermurah hati membagi pengetahuannya tentang misi pertama Gereja Katolik yang berkembang secara tak sengaja karena dua misionaris Eropa dari Solor terdampar di Lamalera. Terasa nuansa Katolik yang kental sebagaimana realitas masyarakat di sebagian besar NTT. Meski Aliuroba desa terpencil dengan listrik dari genset PLN yang hanya hidup malam hari, Ola, Luciola masih juga mengikuti Pedro. Ola digambarkan sebagai gadis cantik berkulit putih, menawan, pintar dan kaya raya dengan ayah yang memiliki bisnis di Las Vegas, Monako dan berbagai belahan dunia lainnya. Sehingga Ola bisa meminta ayahnya memasang antena parabola untuk telepon satelit serta pembangkit listrik panel surya dan angin di Aliuroba. Rahardi menggambarkan Pedro lulus dengan IP (indeks prestasi) 3,8. Ia merupakan lelaki gagah, tampan dan kulitnya tak sehitam orang-orang Larantuka pada umumnya, wajahnya tipikal para bintang sepakbola dari Italia, suaranya juga sangat bagus (halaman 29). Terasa tokoh-tokoh utama novel ini jadi seperti bukan manusia-manusia biasa. Bak kisah di negeri dongeng. Setelah sekian lama di Lembata, Ola merasa telah kehilangan harapan menakhlukkan Pedro. Maka ia menenangkan pikiran dengan memutuskan ke Eropa. Dari Lewoleba, Ola terbang ke Kupang, via Darwin ia terbang ke Milan dengan Singapore Airlines. Yang di setiap persinggahan selalu ada kaki-tangan ayahnya yang siap sedia memfasilitasi Ola.Terasa benar Ola bermegah-megah di Eropa, sementara Pedro bergulat dengan kemiskinan, yang digambarkan dengan kedatangan umat yang suami adiknya menikah lagi di Sabah, menjadi TKI di Malaysia. Dari sini Pedro dengan kritis bertanya pada koleganya, Pastor Alex, “... aku mau tanya, apa saja yang telah dikerjakan oleh gereja, hingga umat kita tetap miskin?”Mulailah gugatan demi gugatan meluncur di atas kisah ini. Rahardi menulis, “Harga kopra hanya Rp 3.000 per kilogram. Tapi petani kelapa harus membeli minyak goreng dengan harga Rp 8.000 per setengah liter. Mereka makan hanya satu kali sehari dan gizi mereka juga sangat buruk.”Di Lavaux, sehari Ola menghabiskan seratus euro setara dengan Rp 1.300.000 (waktu Novel ini ditulis). “Umatku di Aliuroba, pendapatan rata-ratanya sebulan hanya sekitar Rp 300.000, seperempat dari pengeluaranmu sehari” (halaman 63). Puncaknya Pedro menggugat perjamuan dengan anggur dan hosti yang terbuat dari gandum yang harus diimpor. Lalu ia mengganti anggur dengan moke (tuak yang disuling lagi hingga mencapai kadar alkohol 60 persen) dan hosti diganti jagung titi. Bagai sebuah pemberontakan yang tak seimbang, Pedro terlempar ke luar gelanggang permainan dan bergulat melawan dirinya hingga sebuah akhir yang sulit ditebak. Sebagai sebuah bacaan yang relatif ringan, novel Rahardi ini cukup menghibur dan tak membuat dahi berkerut meski sebagian gugatan cukup kuat.
Sumber : Harian Sinar Harapan

Mendagri Respons Aspirasi Rakyat NTT

Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Mardiyanto merespons aspirasi rakyat NTT yang menginginkan perubahan jadwal pemilu legislatif, 9 April 2009. Mendagri segera menemui Presiden RI, Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) melaporkan hasil pertemuan dengan Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, di Jakarta, Selasa (3/3/2009). Sikap Mendagri, Mardiyanto, itu disampaikan Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, ketika dihubungi pertelepon ke Jakarta, Selasa (3/3/2009) malam. Lebu Raya mengatakan, masukan tentang kondisi lapangan dan aspirasi masyarakat NTT yang disampaikannya dicermati oleh Mendagri. Mendagri, demikian Lebu Raya, mencatat secara cermat point-point penting yang disampaikan dan laporan tertulis yang dari tokoh agama dan KPUD NTT. Laporan itu dimasukan dalam berkas yang akan disampaikan kepada presiden. Respons yang baik, juga diberikan DPR RI, KPU dan tokoh agama (toga) ketika menerima delegasi NTT, Senin (2/3/2009). Baik DPR RI maupun KPU, kata Lebu Raya, menerima aspirasi rakyat NTT untuk dibicarakan lebih lanjut."Kita tunggu saja hasilnya. Jika ada perubahan atau dispensasi khusus NTT, kita syukuri. Jika jadwalnya tidak berubah kita tetap sukseskan pemilu sebagai pesta demokrasi lima tahunan itu," kata Lebu Raya.Gubenur mengimbau seluruh rakyat NTT dan penyelenggara pemilu tetap bersabar menunggu hasil pengmbil kebijakan, dengan tetap melaksanakan tahapan-tahapan pemilu yang telah diagendakan. "Kami bicarakan semua persoalan yang dihadapi masyarakat NTT. Setelah itu beliau (Mendagri) presiden. Beliau akan memberikan alternatif pikiran kepada presiden sebagai referensi untuk beliau mengambil kebijakan. Suasananya cukup bagus, baik saat kami bertemu DPR RI, KPU dan tokoh agama nasional maupun ketemu Mendagri. Pak Mendagri sangat memahami aspirasi masyarakat NTT. Beliau menyarankan, kita tetap tenang, tetap melaksanakan tahapan-tahapan pemilu sambil menunggu kebijakan dan respons presiden terhadap aspirasi masyarakat ini," kata Lebu Raya.Lebu Raya mengharapkan keputusan yang dikeluarkan KPU sebagai pihak yang berwewenang mengatur proses pelaksanaan pemilu, bisa merespons dengan baik aspirasi yang telah disampaikan itu. "Kita menaruh harapan, KPU bisa meninjau kembali keputusan itu dengan mengakomodir aspirasi masyarakat," kata Lebu Raya. Perbanyak TPSSementara KPUD Flores Timur (Flotim) telah mengeluarkan Keputusan Nomor 02/2009 tentang Perbanyakan Tempat Pemungutan Suara (TPS) dari 420 menjadi 720 atau menambah 300 TPS. KPUD Flotim, juga memperbanyak bilik suara agar waktu untuk pemilih semakin singkat sehingga pemilih bisa mempersiapkan diri mengikuti misa Kamis Putih dan kegiataan keagamaan lainnya. Juru bicara KPUD Flotim, Bernadus Boro Tupen, mengatakan itu saat ditemui di sela-sela rapat kerja KPUD se-NTT di Hotel Pantai Timor, Kupang, Selasa (3/3/2009). Dia mengatakan, untuk semua keluarhan dalam Kota Larantuka jumlah pemilih tiap TPS dikurangi secara bervariasi. Enam belas kelurahan dengan jumlah pemilih terbesar jumlah pemilih per-TPS sebanyak 156, selebihnya 149 ke bawah. Khusus untuk TPS di Posto jumlah pemilih per-TPS hanya 99 orang. Hal ini, kata Tupen, agar pemilihan cepat selesai dan umat mengalihkan kosentrasi ke kegiatan keagamaan, Hari Kamis Putih. KPU pusat, lanjut Tupen, setuju mempercepat perhitungan suara. "Target kita pukul 12.00 Wita, perhitungan suara selesai sehingga pemilih, saksi dan petugas lainnya bisa berkosentrasi ke gereja," kata Tupen. KPUD Flotim, lanjut Tupen, juga sudah koordinasikan dengan Romo Deken, Adu Kerans,Pr. Koordinasi itu, kata Tupen, untuk mencari solusi terbaik untuk dua hajatan, hajatan politik dan hajatan gereja. Sekembali dari Kupang, kata Tupen, mereka akan menggelar rapat koordinasi dengan Romo Adu Kerans, serta pihak-pihak terkait lainnya agar persoalan jadwal, bisa diselesaikan dengan baik. "Kita mengharapkan dua hajatan itu tidak berbenturan. Pemilih sebagai umat gereja diharapkan tetap menggunakan hak pilihnya lalu mengikuti misa di gereja. Antara warga negara dan umat harus sama-sama dijalankan sehingga seimbang. Jika semua menerima ini, kita yakin pelaksanaan pemilu legislatif di Flotim sebagai pusat kegiatan kerohanian prosesi Jumat Agung yang kosentrasinya mulai Hari Kamis, bisa berjalan dengan baik," kata Tupen
Sumber : Harian Pos Kupang Online

Utusan NTT Bertemu Mendagri

Utusan NTT Bertemu Mendagri KUPANG, PK -- Usul pergeseran waktu Pemilu legislatif dari tanggal 9 April 2009 karena bertepatan dengan hari raya keagamaan, telah menjadi masalah nasional. Masalah tersebut akan dilaporkan kepada Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).Kepala Badan Kesbangpol dan Linmas NTT, Drs. Flory Mekeng, Rm. Agustinus Parera, Pr (Ketua FKUB), Drs. H Abdul Kadir Makarim (Ketua MUI), Drs. I Gusti Made Putra Kusuma (Ketua PHDI) dan Pdt. Victor FB Sumlang, M.Th, MA (Ketua PGI) yang menghubungi Pos Kupang dari Jakarta, Senin (2/3/2009) malam, setelah pada siang harinya mengadakan pertemuan dengan Mendagri, Mardiyanto, dan Komisi II DPR RI .Mulanya Pos Kupang dihubungi anggota DPR RI asal daerah pemilihan NTT dari Fraksi PDIP, Herman Heri. Selanjutnya Herman Heri menyerahkan pesawat handphone-nya kepada utusan NTT untuk menjelaskan secara bergantian kepada Pos Kupang. Flory Mekeng mengatakan, pertemuan berlangsung di ruang Komisi II DPR RI. Pertemuan tersebut dihadiri Ketua dan Wakil Ketua Komisi II DPR RI, EE Mangindaan (Fraksi Partai Demokrat) dan Eka Santoso (FPDIP). Sedangkan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) dihadiri dua anggota, yaitu Prof. Syamsulbahri dan Sri Nuryanti.Romo Agus Parera mengatakan, Mendagri dan KPU menghargai perayaan hari keagamaan umat Kristiani yang jatuh pada tanggal 9 April. Aspirasi tentang pergeseran waktu pemilu yang disampaikan masyarakat NTT, akan dibahas sesuai mekanisme aturan yang berlaku. Mendagri juga akan melaporkan masalah ini kepada Presiden SBY. Masalah pergeseran jadwal juga akan dibahas Komisi II DPR RI."Besok (Selasa pagi ini, Red) Gubernur NTT. Drs. Frans Lebu Raya, akan bertemu dengan Mendagri, Mardiyanto. Sekarang Gubernur ada di Jakarta. Setelah itu akan ada rapat konsultasi antara pemerintah, DPR dan KPU," ujar Romo Agus.Menurut Romo Agus, Mendagri juga mengatakan, aspirasi pergeseran waktu pemilu sejak kemarin menjadi persoalan nasional.Romo Agus menyampaikan terima kasih kepada Herman Heri dan Eko Santoso yang memfailitasi utusan NTT untuk bertemu dengan Mendagri dan Komisi II DPR RI. "Pak Herman Heri dan Eko Santoso sudah lobi dengan baik sehingga kami bisa bertemu Mendagri dan Komisi II. Mudah-mudahan keinginan kita mendapat respon yang baik," katanya.Dia mengharapkan agar elemen masyarakat mempercayakan proses yang dilakukan pemerintah pusat, Komisi II dan KPU. Kalau masalah tersebut sudah tuntas, maka kita minta agar diumumkan kepada masyarakat.Abdul Kadir Makarim kembali mengingatkan bahwa perjuangan pergeseran waktu pemilu harus dilakukan bersama-sama. Kalau berjuang sendiri, hasilnya tidak maksimal. "Mudah-mudahan aspirasi kita berhasil. Mendagri mengatakan, bukan lagi masalah NTT, tetapi masalah nasional. Kita mengharapkan agar kerukunan di NTT terjaga," kata Makarim.I Gusti Made Putra Kusuma mengatakan, dalam pertemuan dengan Mendagri dan Komisi II DPR RI, utusan NTT mengusulkan pergeseran waktu pemilu. Kalau bisa dimajukan pada tanggal 6 April jika tidak maka diundur ke tanggal 15 April. "Jadi, persoalan yang disampaikan masyarakat NTT sedang terus dibahas," kata Putra Kusuma.Viktor Sumlang mengatakan, aspirasi masyarakat NTT didengar pemerintah pusat. Sekarang keputusan ada pada pucuk pimpinan. Herman Heri mengatakan, apa yang ia lakukan sebagai wujud tanggung jawab kepada daerah dan masyarakat NTT. "Biar masyarakat tidak bilang percuma saja wakil rakyat dari NTT," katanya.
Sumber : Harian Pos Kupang Online

Jumat, 27 Februari 2009

Dugaan Penyimpangan Proyek Jobber, Kajari Pulbaket 30 Hari

LEWOLEBA, PK -- Desakan Florata Corruption Watch/FCW kepada penyidik kejaksaan, kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan dugaan penyimpangan proyek pabrik es dan jobber (fasilitas penimbunan BBM) milik Pemkab Lembata mendapatkan respon positif. Kejaksaan Tinggi NTT memerintahkan penyidik Kejaksaan Negeri (Kejari) Lewoleba mengumpulkan bahan dan keterangan (pulbaket) selama 30 hari dan melaporkan hasilnya kepada Kejati NTT."Laporan panitia khusus (pansus) DPRD bisa menjadi bukti awal untuk kami bekerja. Seperti juga hasil pansus meneliti dugaan penyimpangan keuangan PD Purin Lewo, setelah diaudit BPKP, jumlah kerugian negara lebih kecil dari perhitungan pansus. Karena itu, kami akan bekerja menurut cara kami melakukan pulbaket. Perintah Kajati NTT melakukan pulbaket bukan penyelidikan atau penyidikan. Hasil pulbaket akan kita laporkan dalam 30 hari," kata Kajari Lewoleba, Gabriel Mbulu, S.H, kepada Pos Kupang, di Lewoleba, Selasa (17/2/2009). Perintah Kejati NTT tertuang dalam surat No: R-28/8.3.3/DEK.3/1/2009 ditandatangani Asisten Intelijen, I Gusti Nyoman Subawa, S.H. Surat perintah ini melampirkan guntingan koran Pos Kupang edisi Senin (5/1/2009) yang memuat desakan Florata Corruption kepada penyidik mengusut dugaan penyimpangan proyek pabrik es.Gabriel menambahkan, laporan pulbaket proyek pabrik es dan jobber akan disampaikan kepada Kajati NTT. Apakah hasil pulbaket itu akan ditingkatkan ke tahap penyelidikan dan penyidikan, sangat tergantung kepada hasil akhir pulbaket yang dilakukan tim Kejari Lewoleba.Direktur Florata Corruption, Piter Bala Wukak, S.H, kepada Pos Kupang menyampaikan terima kasih atas respon positif Kajati NTT. Respon itu harus ditunjukkan dengan kinerja di lapangan menuntaskan dugaan penyimpangan proyek jobber dan pabrik es. Apapun hasil yang ditemukan, Piter menyarankan disampaikan kepada masyarakat. Apabila ada indikasi penyewengan keuangan negara dan harus ditingkatkan ke tahap penyelidikan dan penyidikan. Bilamana tidak ada temuan, juga disampaikan transparan kepada masyarakat agar tidak menjadi polemik di masyarakat.Dikatakannya, pemahaman masyarakat awam menyimpulkan temuan pansus telah terjadi penyimpangan. Tetapi apakah penyimpangan itu benar-benar ada dan merugikan keuangan negara harus dibuktikan lewat penyelidikan dan penyidikan mendalam dan tuntas."Masyarakat jangan dibiarkan mendiskusikan kasus ini berkepanjangan. Kalau harus ditingkatkan ke tahap penyelidikan dan penyidikan, proses saja supaya kasus ini menjadi jelas," tandas Piter.Menurut tim pansus I DPRD meneliti proyek jobber yang didanai dari APBD Lembata Rp 18.705.000.000,ditemukan beberapa persoalan terindikasi syarat kepentingan, persekongkolan, kolusi dan korupsi merugikan keuangan negara ditaksasi Rp 1.002.787.379,05. Penyimpangan meliputi denda keterlambatan paket pekerjaan tahap I yang tidak termuat dalam kontrak senilai Rp 428.137.589,05, asuransi proyek Rp 309.426.810 dan reengineering (perencanaan kembali) Rp 268.232.890. Temuan lain, tak satu pasal pun dalam kontrak induk maupun addendum kontrak nomor 140a dan 140b mengatur asuransi. Tetapi dialokasikan dana Rp 309.426.810 untuk asuransi pembangunan jobber dan transportasi. Padahal Keppres Nomor 80 Tahun 2003 lampiran 1 Bab II poin 2 mengisyaratkan, penyedia barang/jasa harus mengasuransikan semua barang dan peralatannya yang mempunyai resiko tinggi. Pansus juga menemukan penyimpangan terjadi sejak pelelangan. Dua anggota panitia tidak memiliki sertifikat keahlian, pemungutan uang pendaftaran Rp 1 juta kepada rekanan bertentangan pasal 8 Keppres Nomor 80 Tahun 2003. Proyek ini dilamar enam perusahaan, tapi empat perusahaan gugur karena administrasi diajukan tidak lengkap. PT Djasa Uber Sakti dan PT Indolas Pramata memenuhi syarat mengikuti penawaran. Meski dokumen utama PT Djasa Uber Sakti, berupa SIUJK dan SBU telah kadaluwarsa sejak 31 Desember 2006. Bahkan tak satupun surat keterangan dari badan sertifikasi Asosiasi Kontraktor Indonesia (AKI) yang menyatakan sertifikasi perusahaan ini sedang diproses.
Mark up pabrik Es
Pansus tiga menyelidiki pabrik es di Waijarang, menemukan mark up (penggelembungan) beberapa aspek pekerjaan, pembuatan jetty (tambatan perahu) Rp 135.364.791, menara air Rp 94.220.507,25, jaringan listrik diesel 135 KVA Rp 291.500.000. Gedung pabrik es Rp 140.000.052,44, rumah listrik (diesel) Rp 11.500.214,52 dan pembuatan pabrik es dan mesin Rp 885.777.640.Anggaran digunakan bersumber dari dana alokasi umum (DAU) Rp 397.222.500 serta dana alokasi khusus (DAK) dan dana pendamping Rp 1.025.777.500 atau keseluruhan Rp 1.423.000.000.Setelah owner estimate (OE), item pekerjaan jetty dihilangkan, meski alokasi anggaran Rp 1.423. 000.000, tak berkurang. Begitupun setelah addendum satu, harga semua item pekerjaan tidak berubah pula. Pada addendum dua semua item pekerjaan mengalami eskalasi cukup besar. Gedung pabrik es dieskalasi Rp 29.701.198,80 menjadi Rp 160.701.198,80 dari harga sebelumnya Rp 140.000.052,44. Pembuatan pabrik es mendapat tambahan Rp 364.368.870 menjadi Rp 1.250.146.476,70 dari harga sebelum eskalasi Rp 885.777.640. Rumah listrik yang semula Rp 11.500,241,52 ditambah Rp 25.617.568,56 menjadi Rp 37.117.779,02. Total dana eskalasi Rp 419.687.600 menjadi Rp 1.842.697.600 dari harga pada kontrak awal Rp 1.423.000.425,26.Fakta lainnya, di dalam dokumen kontrak menggunakan amoniak, di lapangan terpasang freon merugika negara Rp 130,9 juta, karena peralatan yang diadakan kontraktor seperti pompa air dan kondesor Rp 26,7 juta, valves regular valve Rp 64,8 juta, pipa penghubung NH-3 Rp 27,8 juta dan pipa air 4 dim dan 1,5 dim seharga Rp 11,6 juta. Peralatan ini bisa digunakan apabila menggunakan amoniak. Padahal harga mesin freon jauh lebih murah dari mesin menggunakan amoniak.Mesin pabrik es merupakan mesin modifikasi merek Cina dan Jerman diduga terjadi mark up Rp 300 juta lebih. Pengadaan kabel instalasi tidak standar (kabel serabut) tidak sesuai rencana anggaran biaya. Mesin listrik (genzet) di dalam perencanaan 135 KVA seharga Rp 291.500.000, yang diadakan 100 KVA tanpa perubahan harga. Mesin kapasitas 100 KVA, seharusnya bisa mengoperasikan pabrik es kapasitas 10 ton/hari. Pada pabrik es di Maumere dipasang mesin kapasitas 50 KVA bisa memproduksi es balok sejak 2006. Proyek ini menghabiskan anggaran Rp 540 juta. (ius/Pos KUpang)

Murid SD di Lewoleba Derita Tumor Ganas

MALANG penderitaan Titus Raja Manuk alias Roby (10). Benjolan yang semula kecil muncul disebelah kiri lehernya menjelang akhir November 2008, namun saat ini benjolan itu terus membesar dan mengeluarkan darah. Di sekitar benjolan itu muncul benjolan baru berukuran kecil. Paramedis memeriksanya menyimpulkan kemungkinan Roby terserang penyakit tumor ganas.Rabu pagi (25/2/2009), pukul 08.30 Wita, ayah kandung Roby, Fransiskus Bambang Manuk bersama dua rang sahabatnya mendatangi Pos Kupang di Lewoleba."Pak kami minta bantuan untuk melihat anak kami di RSUD Lewoleba. Darah yang keluar sangat banyak dari benjolannya. Kami tidak sanggup membiayai operasi kanker. Kata dokter harus dioperasi ke rumah sakit di Pulau Jawa," ungkap Frans.Frans menuturkan, dokter di RSUD Lewoleba dan RSUD Kupang sudah sempat memeriksa Roby menyatakan anaknya menderita tumor ganas dan harus dioperasi. Memikirkan biaya operasi anaknya, Frans mengaku tidak mampu. "Mungkin ada yang bisa bantu saya. Kata para dokter, anakya menderita sejenis tumor ganas," ujar Frans.Pos Kupang menjenguk Roby, hari Rabu kemarin di RSUD Lewoleba. Roby sudah dua hari menginap di RSUD itu. Sebuah jarum infus ditusukan ke tangan kiri. Anak keempat dari delalapan bersaudara ini ditemaninya Rosalian Tukan ibunya. Wajahnya masih tampak seperti anak-anak seusianya. Ia masih bisa berbicara,namun nampak sekali benjolan di leher sebelah kiti sebesar buah kelapa bali sangat mengganggunya. Rosalina mengatakan, Roby dilarikan ke RSUD, Selasa (24/2) karena darah keluar dari benjolan sangat banyak dan tak bisa dihentikan. Ia dan suaminya panik membawanya ke RSUD agar mendapat perawatan dan berhasil dihentikan darah yang keluar.Menurut dokter, kata Rosalina, benjolan ini harus dioperasi di rumah sakit di Jawa. Pihak RSUD akan mengeluarkan surat rujukan dan menyeratkan tenaga pendamping mengantar Roby bersama orangtuanya. Biaya operasi dan pengobatan akan ditanggunglangi dari dana jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) dan sebagian biaya harus ditanggulangi keluarga."INi yang kami pikirkan.Kami akan berusaha cari jalan kumpulkan uangan tambahan. Mudah-mudahan ada yang bersedia membantu anak kami,ö keluh Rosalina.Dikatakanya, banjolan ini muncul sekitar tanggal 26 November 2008, beberapa minggu setelah Roby menerima sakremen komuni pertama. Rosalina memeriksakan anaknya ke Puskesmas Lewoleba, dan dirujuk ke RSUD Lewoleba. Semakin hari, benjolan terus membesar. Pada esember 2008, Roby ditemani orangtunya berobat ke Kupang.öDokter mengambil cairan dari benjolannya dikirim ke Surabaya.Ini ada surat keterangan hasilnya. Katanya tumor ganas,ö kata Rosalina. Selembar surat tertulis pemeriksaan patologi, dr.Suparman SpP.K, menyimpulkan sukar dipastikan jenis pastinya neurendocrine tumor. Rosalina menambahkan, benjolan terus membesar maka sejak Januari 2009, Roby tak sekolah lagi. Sehari-hari ia berada di rumah bermain dengan anak-anak seusianya dan nonton televisi. Makan dan minum masih seperti biasa, meski aktivitasnya tak seperti selama ia sehat dahulu. (ius/Pos Kupang)

Cari Solusi Untuk Flotim

KUPANG, PK -- Hasil terburuk perjuangan untuk mengubah jadwal Pemilu 9 April 2009, yakni setidaknya ada dispensasi dari Jakarta, khusus untuk Kabupaten Flotim, daerah dengan mayoritas pemilih beragama Katolik yang pada hari H pemilu harus merayakan Kamis Putih.Pekan ini, tim dari NTT, terdiri dari unsur Pemprop NTT dan para toko agama ke Jakarta untuk memperjuangkan itu ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, KPU, Mendagri dan DPR RI. Demikian kesepakatan yang diperoleh dalam rapat Gubernur NTT bersama tokoh agama dan unsur Muspida plus, di ruang kerja Gubernur NTT, Jumat (27/2/2009). Hasil pertemuan ini disampaikan kepada wartawan oleh Kepala Kesbangpol dan Linmas NTT. Drs. Flori Mekeng, usai mengikuti pertemuan tersebut.Menurut Mekeng, Gubernur Lebu Raya juga akan menyurati Presiden SBY, Ketua DPR, Agung Laksono, Mendagri Mardiyanto dan Ketua KPU, Abdul Hafiz Anshary, untuk meminta agar jadwal Pemilu di NTT ditinjau kembali karena bertepatan dengan Kamis Putih."Saya akan mengirim utusan ke Jakarta untuk membicarakan pelaksanaan pemilu legislatif yang bertepatan dengan hari raya keagamaan di daerah ini," kata Gubernur Lebu Raya yang ditemui terpisah, kemarin."Memang sudah ada keputusan KPU. Tetapi kami mengharapkan Presiden, Mendagri, Ketua DPR dapat meminta pertimbangan KPU untuk meninjau kembali keputusannya soal jadwa pemilu legislatif, khusus di NTT," katanya.Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Propinsi NTT, H. Abdul Kadir Makarim dan Ketua PHDI, Drs. I Gusti Made Kusuma usai mengikuti pertemuan dengan gubernur, kemarin, mengatakan, perlu ada kebijakan khusus KPU untuk waktu pelaksanaan Pemilu Legislatif di NTT karena bertepatan dengan Kamis Putih.Bagi umat Katolik, Kamis Putih dirayakan untuk mengenang perjamuan malam terakhir antara Yesus Kristus bersama murid-muridNya sebelum Dia wafat di kayu salib pada hari Jumat yang dikenang sebagai Jumat Agung. Bagi umat Katolik di Flotim, sudah menjadi tradisi keagamaan dimana rangkaian perayaan Paskah dimulai sejak hari Rabu (Rabu Trewa). Pada hari itu umat Katolik pergi ke gereja mengikuti perayaan misa dimana dalam perayaan tersebut Pastor memberi tanda abu pada kening setiap umat, lambang iman akan kisah penciptaan manusia oleh Tuhan. Manusia diciptakan dari tanah dan akan kembali menjadi tanah.Selanjutnya pada Kamis Putih dilakukan perayaan misa untuk mengenang perjamuan malam terakhir Yesus bersama ke-12 muridNya. Made Kusuma meminta semua warga NTT tetap menjaga situasi agar tetap kondusif. Gubernur, tokoh agama, KPUD dan DPRD NTT tetap memperhatikan aspirasi masyarakat NTT dengan menyurati KPU, Presiden dan DPR RI. "Minggu ini tim akan ke Jakarta untuk bertemu langsung DPR RI, Presiden dan KPU," kata Made Kusuma. Makarim menambahkan, KPU memang sudah memutuskan bahwa pelaksanaan pemilu legislatif tetap pada 9 April, namun masih ada ruang dan waktu bagi NTT untuk membicarakan persoalan tersebut dengan pemerintah pusat."Negara kita berazaskan Pancasila yang harus menghormati adanya perbedaan di negara ini. Saya yakin masih ada peluang bagi kita semua. Ayam yang sudah dipotong lehernya saja masih bisa bergerak kok," katanya.Flori Mekeng melanjutkan bahwa dirinya ditugaskan Gubernur Lebu Raya untuk memimpin tim NTT ke Jakarta guna memperjuangkan aspirasi masyarakat NTT."Saya diminta Pak Gubernur untuk memimpin tim tersebut ke Jakarta pada hari Minggu (1/3/2009) untuk membicarakan masalah pemilu legislatif di NTT yang bertepatan dengan Kamis Putih," katanya. (gem)

Selasa, 17 Februari 2009

Panas Bumi Atadei 71 MWe



LEWOLEBA, PK---Tim konsultan panas bumi, PT Nadia Karsa Amerta, memastikan potensi cadangan panas bumi (geothermal) Atadei di Desa Watuwawer, Kecamatan Atadei, Kabupaten Lembata mencapai 71 MWe. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ir. Purnomo Yusgiantoro, telah mengeluarkan surat keputusan penetapan wilayah kerja pertambangan (WKP) panas bumi Atadei untuk ditawarkan kepada investor."Potensi ini harus dieksploitasi supaya menghasilkan tenaga listrik panas bumi. Pemerintah daerah bisa mulai melakukan persiapan melelang potensi ini setelah Bupati Lembata menerima SK WKP dari Menteri ESDM di Jakarta," kata ketua tim konsultan, Munasir Amran, saat mempresentasikan potensi panas bumi Atadei kepada Bupati dan Wakil Bupati Lembata, Drs. Andreas Duli Manuk, Drs. Andreas Nula Liliweri, Ketua DPRD, Drs. Petrus Boliona Keraf, muspida, tokoh masyarakat dan LSM, Rabu (11/2/2009) malam, di Lopo Moting Lomblen.Keputusan Menteri ESDM tentang WKP Atadei tertuang dalam surat nomor 2966 K/30/MEN/2008 tanggal 30 Desember 2008 dan ditandatangami Menteri ESDM, Purnomo Yusgiantoro. Keputusan itu menyatakan, daerah Atadei seluas 31.200 ha ditetapkan sebagai WKP panas bumi. WKP ini dapat ditawarkan kepada badan usaha dengan melelang sesuai ketentuan perundangan. Pada hari Rabu pagi, tim konsultan dan staf panas bumi Menteri ESDM dan tim Pemkab Lembata memantau lokasi panas bumi di Watuwawer. Mereka menyaksikan dua sumur yang dibor enam tahun silam. Mereka juga melakukan dialog dengan warga tentang potensi panas bumi dan mendapatkan input dari warga.Munasir mengatakan, potensi panas bumi Atadei merupakan aset pemda dan masyarakat yang memberikan nilai tambah yang besar bagi pemerintah apabila diekspolitasi. Karena itu, potensi ini harus dilelang untuk menarik minat investor sebab harga listrik yang akan dijual sangat menjanjikan keuntungan.Menurut Munasir, apabila digarap 60 MWe, membutuhkan anggaran 260 miliar dolar AS atau sekitar Rp 2,6 triliun. Anggaran itu meliputi pemboran sumur, pembangunan infrastruktur, pengolahan limbah dan power plan. Meski proyek ini melewati tahapan panjang, Pemkab Lembata harus mulai menyiapkan diri membentuk peraturan daerah. Pemkab bisa melakukan studi banding ke Pemprop Jawa Barat yang telah membuat perda pengelolaan panas bumi ini.Potensi listrik panas bumi Atadei, kata Munasir, di atas perkiraan konsumsi listrik di Lembata. Kebutuhan masyarakat saat ini sekitar 5 MWe dan sisanya bisa dijual ke wilayah tetangga yang membutuhkan suplai listrik dan pemerintah bisa memperoleh pendapatannya.Munasir menyarankan investasi dilakukan bertahap sesuai kemampuan keuangan investor dan kebutuhan listrik. Namun kebutuhan listrik yang terus meningkat setiap waktu, investasi kelistrikan tidak akan rugi. Pengalaman di daerah lain di Indonesia yang telah mengeskpolitasi panas bumi, kebutuhan listrik rumah tangga dan industri terjamin serta usaha ekonomi tumbuh pesat. Dikatakannya, manfaat utama panas bumi selain menghasilkan listrik, sisa uap yang terbuang bisa digunakan untuk mengeringkan kopra, gula aren, penetasan telur ayam dan pemanasan ruangan di daerah dingin. Uap air bisa dimanfaatkan untuk kolam renang air panas dan kebutuhan lain disesuaikan dengan temperaturnya. Apakah ada dampak semburan lumpur dan air panas seperti PLTU Mataloko seperti yang dikhawatirkan Gabriel Mbulu, S.H, Kepala Kejaksaan Negeri Lewoleba? Munasir menegaskan beberapa proyek panas bumi yang ditangani pihaknya belum muncul dampak. Saat ini timnya diberi kewenangan oleh pemerintah mengawasi beberapa lapangan sumur panas bumi di Indonesia. Ia menyebut PLTU Kamojang yang telah beroperasi 25 tahun dan kini memasuki kontrak tahap II untuk 25 tahun mendatang.Sedangkan infrastruktur jalan raya ke lokasi panas bumi disampaikan Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Ir. Anton Senda, M.T.Munasir menyarankan pemda mulai membenahi infrastruktur jalan raya dari Lewoleba ke Watuwawer sejauh 32 km. Jalur jalan ini akan dilalui trailler dan truk besar untuk memobilisasi material pemboran sumur. "Seluruh peralatan eksploitasi seberat 250 ton. Tetapi tidak diangkut sekaligus tapi dipisah-pisah. Misalnya pipa stang, menara bor ukuran 36 meter dibagi tiga bagian masing-masing 3x12 meter diangkut menggunakan trailler dengan panjang 12 meter," katanya. *
Dua Sumur Gagal Produksi
TIM konsultan PT Nadia Karsa Amerta dan Subdit Panas Bumi Ditjen Pembinaan Pengusahaan Panas Bumi dan Air Tanah Departemen ESDM mengamati sumur eksplorasi Atadei I (AT I) dan Atadei II (AT II) di Kecamatan Atadei, Rabu (11/2/2009), menyimpulkan, dua sumur eksplorasi yang dibor tahun 2003-2005 tidak berfungsi menghasilkan uap panas. Sumur dibor dengan biaya APBN sekitar Rp 45 miliar ini mubazir dan tidak memberikan manfaat apa pun. "Kami tidak tahu persis program apa yang dilakukan tim waktu itu (Pusat Sumber Daya Geologi, dahulu Direktorat Inventarisasi Sumber Daya Mineral). Pengamatan kami, dua sumur eksplorasi ini sama sekali tidak berfungsi. Pada saat dibuka uapnya habis. Kami menyimpulkan pemboran belum sampai pada sasaran reservoar. Kalau hanya 800 meter, belum mencapai puncak sasaran," tandas ketua tim konsultan, Munasir Amran.Ia mengemukakan itu dalam presentasi hasil survai panas bumi Atadei, Rabu (11/2/2009) malam, kepada Bupati dan Wabup Lembata, Drs. Andreas Duli Manuk, dan Drs. Andereas Nula Liliweri, Ketua DPRD, Drs. Piter Boliona Keraf, serta para pimpinan dinas, tokoh masyarakat dan LSM. Temuan ini cukup mengejutkan. Pasalnya, pemboran dua sumur yang menghabiskan anggaran sekitar Rp 45 miliar semula akan memasuki tahapan eksploitasi setelah melewati beberapa tahun pengujian.Menurut Munasir, tidak berfungsinya dua sumur eksplorasi ini disebabkan beberapa faktor, seperti pemboran yang belum mencapai titik sasaran, puncak reservoir berada pada kedalaman 800-1.200 meter. Titik pemborannya tidak tepat, selain disebabkan faktor alam lainnya. "Untuk dapatkan uap panas yang sesungguhnya harus dibor di atas 1.200 meter. Maksimal 2.000-2.500 meter. Panas bumi di Dieng dibor sampai kedalaman 2.500 meter dan sumurnya berfungsi sampai saat ini. Waktu kami di lokasi tadi siang (Rabu, red), masyarakat desak agar difungsikan dulu tapi kami jelaskan dua sumur ini tidak berfungsi apa pun, " kata Munasir. Pemboran dua sumur ini baru mencapai batuan penudung (cap rock). Seyogyanya lebih dalam atau alternatif lain membor sumur baru di sekitar sumur yang ada saat ini. "Belum ketemu titiknya yang pas sehingga harus dibor titik yang baru lagi," katanya. Hana, staf Subdit Panas Bumi, membenarkan temuan soal tidak berfungsinya dua sumur eksplorasi ini. Temuan ini akan dilaporkan kepada pimpinannya di Jakarta. "Saya tidak tahu kenapa hanya dibor pada kedalaman 800 meter. Pemborannya tidak gagal, tapi sumurnya tidak memproduksi uap panas," kata Hana.Ditambahkan lagi, aset dua sumur yang tidak mempoduksi uap panas ini belum diketahui akan diapakan. "Apakah akan dikompenisasikan ketika akan dilanjutkan eksplorasi lanjutan, keputusannya ada di tingkat pimpinan," ujarnya. * (ius/Pos-Kupang.com)

Yakobus

Oleh Dion DB Putra
Setelah kami selesai membuang semua ulat dari tubuhnya, yang ia katakan dengan senyum ialah, "Ibu, saya akan pulang kepada Tuhan" - lalu ia mati.
IZINKAN beta menyapa saudaraku sesama warga kota "Kasih", Yakobus Anunut dan saudariku Maria Seran. Untukmu berdua kuucapkan turut berduka cita sedalam-dalamnya atas kepergiaan ananda tercinta, Limsa Setiana Katarina Anunut. Beta sedih dan prihatin, sama seperti banyak orang yang telah berempati dengan cara mereka masing-masing.Bung Kobus, perkenankan beta menyapamu seperti itu. Semoga bung tidak keberatan. Dukamu adalah dukaku juga. Duka sesama saudara kita yang teriris perih mendengarmu, melihatmu menggendong ananda Limsa dalam perjalanan pulang ke rumah di tengah rinai hujan. Hidup adalah tragedi. Hadapi itu, kata orang bijak bestari. Dan, Bung Kobus telah menghadapi itu dengan senyum. Dengan kepasrahan dan kasih demi Limsa. Luar biasa, beta sungguh bangga padamu. Terima kasih untuk pelajaran kasih seorang ayah. Beta mau belajar dari itu. Mau belajar tentang apa sesungguhnya makna KASIH yang sejak lama menjadi motto kota ini. Kota kita. Kupang, terbesar dan termegah di beranda Flobamora. Kupang, barometer dan pusat roda pemerintahan dan pembangunan. Pusat kekuasaan. Pusat pelayanan!Kebanggaanku lebih penuh mengingat sikapmu menghadapi apa yang disebut pelayanan publik. Bung Kobus tidak menghujat atau menghakimi. Tidak menyalahkan siapa pun. Seandainya beta menjadi Bung Kobus, mungkin akan marah. Bung tidak melakukan itu meski Bung Kobus memiliki hak yang sama dengan beta serta saudara-saudari kita yang lain di sini. Siapa jua yang mendengar bila bung marah? Bila bung menyebut Rp 30 miliar sebagai pendapatan rumah sakit rujukan di propinsi kita tahun 2008? Menyebut 75 persen dana kesehatan dari APBD kita tumpah di sana? Siapa yang peduli untuk struktur yang demikian rumit dan pelik ini? Siapa pula yang berani mengaku salah? Tiada gunanya menghujat. Toh akan sampai pada frase "tanggung jawab bersama", melempar dan berkelit. Panas sehari lalu diam bersama waktu berlalu. Bung Kobus, kukira bung menghayati hidup adalah perjuangan, maka terimalah itu. Perjuangan bung tiada tara. Dalam ketiadaan hartamu, ketiadaan tiga ratus ribu yang sama dengan tiga perempat upah bulananmu, bung tak patah semangat. Tuhan memberi kaki dan tangan. Bung menjejak bumi karang Kupang. Jalan!! Oh...ananda Limsa Setiana, berbanggalah pada ayahmu. Kasihnya untukmu lebih dari yang ananda bayangkan. Dia dan ibumu Maria tak pernah menghendaki kepergiaanmu yang begitu lekas. Dalam keterbatasan materi, mereka telah berusaha agar engkau sehat seperti anak-anak yang lain. Hidup adalah keberuntungan. Keberuntungan itu kiranya belum menjadi milik orang tuamu. Namun, mereka memandang hidup terlalu berharga. Mereka tidak ingin merusakkan itu. Miskin memang menyakitkan, tetapi Bung Kobus tidak meratapinya dengan cengeng.Bung Kobus, beta mulai kehilangan kata-kata untuk menyapamu lebih lanjut. Terlalu banyak yang hendak diungkap namun kata-kataku terbatas. Kata tak sanggup mengekspresikan seluruh pikiran dan perasaan. Sebelum pamit, beta mengutip untaian kata Ibu Teresa. Untaian kata Bunda Teresa tentang kasih sebelum kematiannya yang diratapi dunia 5 September 1997. Mereka yang miskin secara materi bisa menjadi orang yang indah. Pada suatu petang kami pergi keluar dan memungut empat orang dari jalan. Dan, salah satu dari mereka ada dalam kondisi yang sangat buruk. Saya memberitahu para suster : "Kalian merawat yang tiga; saya akan merawat orang itu yang kelihatan paling buruk."Maka saya melakukan untuk dia segala sesuatu yang dapat dilakukan, dengan kasih tentunya. Saya taruh dia di tempat tidur dan ia memegang tangan saya sementara ia hanya mengatakan satu kata : " Terima kasih" lalu ia meninggal.Saya tidak bisa tidak harus memeriksa hati nurani saya sendiri. Dan saya bertanya, " Apa yang akan saya katakan, seandainya saya menjadi dia?" Jawaban saya sederhana sekali. Saya mungkin berusaha mencari sedikit perhatian untuk diriku sendiri.Mungkin saya berkata, "Saya lapar, saya hampir mati, saya kedinginan, saya kesakitan, atau lainnya". Tetapi ia memberi saya jauh lebih banyak ia memberi saya ucapan syukur atas dasar kasih. Dan ia mati dengan senyum di wajahnya.Lalu ada seorang laki-laki yang kami pungut dari selokan, sebagian badannya sudah dimakan ulat, dan setelah kami bawa dia ke rumah perawatan ia hanya berkata, "Saya telah hidup seperti hewan di jalan, tetapi saya akan mati seperti malaikat, dikasihi dan dipedulikan." Lalu, setelah kami selesai membuang semua ulat dari tubuhnya, yang ia katakan dengan senyum ialah, "Ibu, saya akan pulang kepada Tuhan" - lalu ia mati.Begitu indah melihat orang yang dengan jiwa besar tidak mempersalahkan siapapun, tidak membandingkan dirinya dengan orang lain. Seperti malaikat, inilah jiwa yang besar dari orang-orang yang kaya secara rohani sedangkan miskin secara materi. Jangan kecil hati Bung Kobus. Kukira ananda Limsa Setiana meninggal dengan senyum di wajah mungilnya. Meninggal dalam buaian kasih sang ayah yang amat mencintainya. Bung Kobus dan Ibu Maria, Limsa tidak pernah pergi. Dia hanya pulang ke rumah Bapanya. Pulang ke "rumah" yang kita semua rindukan. Putri kecil, beristirahatlah dalam damai. (dionbata@poskupang.co.id)

Rabu, 11 Februari 2009

Sastra NTT dan Politik Publikasi

(Catatan Buat Yoseph Lagadoni Herin)
Oleh Bara Pattyradja

Penyair, anggota Forum Acedemia NTT, lahir di Lamahala, Flores Timur, 12 April-1983. Antologi puisi tunggalnya, Republik Iblis (Yogyakarta, 2006). Bermukim di Kota Kupang sembari mengasuh Sanggar Rumah Poetica.
SAYA menyambut baik gagasan genuine Yoseph Lagadoni Herin yang tertuang lewat esainya, "Sastra NTT Tak Pernah Mati" di harian Pos Kupang edisi 06/01/2009. Yang paling pertama menyentuh hati saya adalah respeknya yang sungguh-sungguh terhadap masa depan kehidupan sastra di NTT. Ia seorang wakil bupati yang setahu saya lebih tulus mencintai puisi dari pada politik. Sulit rasanya mencari sosok pemimpin yang benar-benar peduli pada pembangunan alam batin masyarakatnya, di tengah aras pembangunan bangsa yang oportunistik, pembangunan yang menghamba pada materi, pembangunan yang tidak punya keberpihakan sama sekali pada dimensi immaterial kemanusiaan kita! Bagi saya optimisme yang ditanamkan oleh Yoseph Lagadoni Herin tersebut merupakan suatu hal yang mengagumkan. Yoseph Lagadoni Herin, lewat esainya, hendak memberi wangsit, atau meneguhkan sebuah warta sederhana kepada publik pembaca di Nusa Nipah ini, bahwa meskipun sastra NTT kadang ngungun, kadang tersisih, dan tak lekas mencapai pusat, namun sastra NTT masih memiliki 'beribu nyawa' untuk bertahan hidup! Saya menemukan tiga ikhwal dasar yang cukup strategis yang turut memengaruhi denyut kehidupan sastra di NTT dari uraiannya tersebut. Ketiga ikhwal inilah yang akan saya soroti lebih jauh melalui tulisan ini. Pertama, politik publikasi. Kedua, tradisi kreatif. Ketiga, peran pemerintah daerah dalam mendorong agenda-agenda kebudayaan. Jika tiga ikhwal ini dapat ditata secara baik, terutama oleh pemerintah daerah dan para penggiat sastra, ke depan, menurut hemat saya, dinamika kehidupan sastra di NTT akan jauh lebih semarak dan produktif. Politik Publikasi Sebuah karya sastra, sebagus apa pun kualitasnya, tidak akan pernah populer jika tidak didukung oleh publikasi yang masif. Kisah kepenyairan Eksoda merupakan gambaran tragik tentang minimnya ruang publikasi sehingga karya-karya Eksoda yang bernas tidak dapat diakses oleh publik pembaca yang lebih luas. Ada sebuah pernyataan menarik yang termaktub dalam esai Yoseph Lagadoni Herin yang hendak saya kutip disini, "Jika ingin dikenal dalam dunia sastra Indonesia, harus berani keluar NTT, diekspos di media nasional. NTT terlalu jauh dari Jakarta, Pos Kupang terlalu kecil untuk Indonesia." Pernyataan ini menegaskan pentingnya publikasi, sekaligus secara geo-politik seolah mengukuhkan Jakarta sebagai satu-satunya imperium media yang memiliki otoritas absolut dalam menentukan nasib sebuah karya sastra. Saya kira di sinilah letak soalnya. Ada tautan relasional antara media dan kekuasaan. Oleh karena itu, sastrawan NTT, di samping terus berupaya mengasah kematangannya dalam berkarya, menurut saya, sangat penting juga memperluas radius pergaulannya dengan berbagai sastrawan yang ada di seluruh pelosok Nusantara. Akses terhadap wacana dan jaringan perlu dibuka seluas-luasnya, agar sastrawan NTT juga memiliki kemungkinan yang jauh lebih besar untuk mempublikasikan karya-karyanya di panggung kesusastraan nasional. Sudah waktunya bagi sastrawan NTT membangun kepercayaan diri guna mengatasi oposisi binner antara yang pusat dan yang lokal. Tradisi Kreatif Sebuah kota tidak hanya menyediakan pusat perbelanjaan, tapi juga mengemas dirinya menjadi etalase kebudayaan. Yogyakarta sebagai misal. Di mal, di angkringan, di kafe, di pelataran Malioboro, tak jarang kita melihat sekelompok orang duduk minum kopi sambil diskusi. Mereka berbicara tema apa saja, mulai dari sastra, filsafat, politik, hingga soal bagaimana caranya agar ayam bakar dari Solo bisa mengalahkan ayam bakar dari Amerika. Mereka datang dari kalangan yang berbeda-beda, tukang becak, mahasiswa, seniman, dosen, pedagang dan seterusnya. Di NTT, tradisi seperti ini belum terbentuk. Kalaupun ada, ruang lingkupnya masih sangat terbatas. Tradisi yang lebih rajin muncul di NTT secara umum justru adalah tradisi hedonisme, mass cultural. Naik kendaraan umum di Kota Kupang, contohnya, jantung kita seperti ditumbuk-tumbuk karena suara musiknya terlalu keras. Kota Kupang seperti kota musik, tapi tidak punya industri musik yang profesional. Ini momok dalam bidang kebudayaan. Berdirinya beberapa komunitas sastra di NTT, saya pikir, merupakan modal kultural yang signifikan untuk membentuk dan memperkuat tradisi kreatif yang saya contohkan di atas. Persolannya mau tidak kita membuka diri untuk melakukan dialog kebudayaan secara lebih luas. Kita butuh platform dasar untuk mendorong kehidupan bersastra di NTT agar memiliki bias secara nasional. Peran Pemerintah Daerah Jika kita telaah secara kritis, peran pemerintah daerah pada sejarah personal kepenyairan beberapa sastrawan Indonesia terkemuka yang berasal dari NTT, maka kita diperhadapkan pada sebuah situasi historis yang paradoks. Umbu Landu Paranggi, misalkan, secara administratif dan genetik memang mempunyai ikatan darah dengan NTT, karena ia orang Sumba. Tapi bagaimana ia menempah dirinya menjadi penyair, itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan NTT. Umbu Landu Paranggi mungkin saja tidak akan menjadi penyair besar jika ia tidak keluar dari NTT, pergi mengembara ke Yogyakarta. Meskipun di kemudian hari eksotisme alam Sumba hadir secara liris dalam puisi-puisi Umbu Landu Paranggi, hal itu tak berarti bahwa Sumba telah melahirkan seorang penyair besar. Tidak! Sumba atau pun NTT tidak memiliki andil apa-apa untuk membesarkan Umbu Landu Paranggi di dunia kepenyairan. Umbu Landu Paranggi dibesarkan oleh Persada Studi Klub di Kota Gudeg dan Sanggar Minum Kopi di Pulau Dewata. Satu contoh kasus ini saja bagi saya sudah cukup mencerminkan betapa rapuhnya strategi kebudayaan yang dibangun Pemerintah NTT, sehingga untuk menjadi penyair saja masyarakat NTT harus berimigrasi ke kota lain. Berbicara soal dukungan pemerintah daerah dalam mensuport agenda-agenda kebudayaan, saya secara pribadi juga pernah mengalami perlakuan buruk bersama tiga orang kawan penggiat sastra. Pengalaman buruk ini kami alami saat sanggar kami terpilih untuk mewakili sastrawan NTT guna menghadiri Forum Temu Sastrawan Mitra Praja Utama, di Lembang, Bandung, Jawa Barat, pada tanggal 2-4 November 2008 silam. Untuk kegiatan tersebut, Pemerintah Provinsi NTT hanya membekali uang saku lima ratus ribu rupiah untuk kami berempat. Ini tentu saja merupakan dukungan yang tidak logis, padahal kegiatan ini diselenggarakan secara resmi oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat berdasarkan kesepakatan dan kerja sama sepuluh provinsi, dan NTT termasuk provinsi yang turut ambil bagian dalam kesepakatan tersebut. Jika tabiat seperti ini tidak diperbaiki oleh pemerintah, lambat laun kehidupan kebudayaan di NTT akan mengalami kelumpuhan. Maju dan tidaknya sebuah peradaban tidak diukur berdasarkan bangunan yang megah, tapi diukur dari kemajuan literer sebuah bangsa. Peradaban tidak akan pernah lahir bila tidak mengenal budaya teks. Dan sastra, dalam peradaban mana pun, adalah satu-satunya benteng pertahanan terakhir yang menjaga hidup matinya tradisi teks ini. Jadi menurut saya, satu hal yang tak kalah penting yang juga perlu diperhatikan oleh Pemerintah NTT dalam mendorong kehidupan kebudayaan, lebih khusus lagi kehidupan sastra di NTT, adalah memasukkan kesenian, lebih khusus lagi (seni sastra) secara eksplisit ke dalam konstitusi. *

Pengadilan Adat Tobung Tahik : Kearifan Lokal Yang Terlupakan

Oleh : John Mamun Sabaleku
Pada liburan sekolah bulan Juli tahun lalu, saya dan anak pertama saya Stefania Sabaleku, pulang ke kampung halamanku di Desa Waowala, Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata. Desa ku dulu adalah sebuah sub kampong (Rian) yang datar (Ebak) sehingga oleh warga setempat menyebutnya dengan nama Rian Ebak. Sub kampung ini merupakan bagian dari kampung besar kami bernama Lewotolok yang letaknya di kaki Gunung Ile Ape. Nama Waowala muncul setelah berpisah dari Lewotolok sebagai sebuah desa gaya baru sampai sekarang sampai saat ini.
Sehari setelah tiba di kampung, saya mendapat banyak kunjungan dari keluarga besar saya.Salah satunya adalah Bapak Matias Jeraman Sabaleku, yang kocak dengan selerah humor yang tinggi. Selain itu hadir pula beberapa keponakan saya. Pertemuan ini, sebagai pelepas rindu dan menanyakan kabar saya di tanah rantau sekaligus berbagai ceritra tentang kehidupan mereka di kampung. Maklum sudah sekian lama kami tidak bersua muka.
Pagi itu, sambil temani secangkir kopi dan jagung titi di campur kacang tanah goreng di hadapan kami, banyak ceritra mengalir, mulai dari masalah pribadi kami, politik, ekonomi, kahasanah budaya setempat serta hal-hal lain yang menarik untuk di bicarakan. Saya sebagai pendengar setia dan memberikan pendapat sesuai dengan pengetahuan saya yang didapat dari membaca Koran, buku dan interaksi saya dengan banyak kolega di tanah rantau.
Salah satu obrolan kami yang menarik dan menghentak kesadaran saya adalah, tentang khasanah budaya setempat yang pernah hidup dan dipraktekan dalam pergaulan social warga kampung kami pada waktu lampau untuk menata harmonisasi kehidupan mereka. Khasanah budaya yang dimaksud adalah pengadilan adat tobung tahik (istilah lamaholot) yang artinya “menengelamkan diri didalam laut dalam posisi duduk untuk membuktikan kesalahan” bagi orang yang divonis bersalah melanggar norma-norma kehidupan yang dianut warga setempat.
Menurut Bapak Jeraman, nara sumber kami, yang hidup sekitar 65-an tahun lalu mengatakan, banyak warga yang diadili dengan mekanisme pengadilan adat ini, adalah mereka yang melakukan tindakan pencurian dan perbuatan asusila, namun tidak mau mengakui perbuatannya. Korupsi ? pada saat itu orang kami belum tahu korupsi bung!. Sehingga untuk membuktikan apakah mereka bersalah atau tidak dilakukan melalui pengadilan adat, yang hasil diketahui langsung oleh warga masyarakat pada saat itu juga.
Selanjunya Bapak Jeraman menuturkan, disebuah sub kampung terjadi kehilangan ayam peliharaan secara terus menerus. Namun sialnya oknum pencuri itu tersebut tidak pernah tertangkap tangan. Karena ada riwayat sebagai pencuri dan berdekatan dengan lokasi pencurian, oknum warga kampung itu divonis oleh pemilik ayam sebagai pelaku pencurian.Namun oknum warga itu tidak mau mengakui perbuatannya. Dia mati-matian menolak vonis tersebut. Maka pemilik ayam tersebut menantang dia melakukan Tobung Tahik untuk membuktikan apakah dia adalah pencuri ayam atau tidak.
Maka difasilitasi oleh tua-tua adat, keduanya melakukan pengadilan adat tersebut dengan disaksikan oleh seluruh warga kampung. Didahului dengan seremoni adat untuk meminta restu dari lera wulan tanah ekan (Tuhan Yang Maha Esa) dan leluhur oleh pemangku adat di kampungku, si tertuduh dan pemilik ayam diarak oleh oleh warga kampung menuju pantai. Setelah sampai di pantai, keduanya diantar dengan sampan (perahu kecil) ke tengah laut yang agak dalam kira-kira tiga sampai empat depa tangan orang dewasa, kedua orang itu dilepas kedalam laut dengan batu sebagai pemberat dalam posisi duduk dengan kaki menjulur.
Aturan mainnya, siapa yang mengapung terlebih dahulu ke permukaan laut, entah hidup atau mati, maka dia tidak bersalah dalam kasus tersebut. Menurut Jeraman, sang nara sumber kami, mengatakan didalam laut, para penghuni laut seperti ikan, kepiting, dan sejenisnya sebagai pengadil terhadap siapa yang bersalah melakukan perbuatan menyimpang tersebut. Hal itu dilakukan dengan cara menggigit bibir, muka, mata bahkan mematikan orang yang bersalah dalam sebuah kasus. Temutu nepi apadikenen ama, ata ayakan rasaro helo temutu nepi kae (ceritra benar ini benar anak, ada banyak orang yang merasakan hukuman seperti ini).
Warga yang menyaksikan di tepi pantai menyaksikan pengadilan tersebut dengan hati yang berdebar dan tanda tanya. Siapakah yang salah dalam pengadilan ini ? Beberapa saat kemudian ada seseorang yang mengapung terlebih dahulu di permukaan laut. Setelah di lihat secara saksama, ternyata yang mengapung duluan adalah oknum yang dituduh mencuri tersebut. Maka dengan demikian terbuktilah sudah siapa yang melakukan pencurian ayam selama ini.
Tradisi ini barangkali ada atau mirip juga di kampung lain. Tetapi itulah tradisi yang pernah hidup dan berkembang di kampungku tempo doeloe. Namun kearifan lokal ini sudah lama sirna karena ditinggalkan oleh pemakai budayanya sejak hegemoni hukum posistif menguasai negara ini, dengan hadirnya polisi, jaksa, dan hakim disetiap tingkatan lembaga hukum, beserta regulasinya seperti KUHP dan KUHAP.
Dari ceritra Bapak Jeraman ini ada beberapa manfaat yang dipetik dari khasanah budaya ini. Pertama, mencari keadilan dengan hukuman model ini, sangat efektif memberikan efek jera terhadap pelaku. Karenan semua mata warga menyoroti seorang pencuri atau pelanggar norma lain sebagai seorang pencuri diamanapun dia berada. Bahkan yang bersangkutan menanggung aib itu sampai mati. Sementara yang terbukti tidak bersalah di pulihkan nama baiknya sesuai dengan ketentuan adat yang berlaku sebagai legitmasi bahwa ia memang bukan seorang pencuri dihadapan warga kampungku.
Kedua, pengadilan model ini juga jauh dari intrik rekayasa pasal hukum karena dasarnya adalah hukum adat dan kearifan yang tumbuh dikampungku, bukan KUHP atau KUHAP. Sehingga tidak ada multi tafsir terhadap pasal-pasal hukum oleh pembela, polisi, jaksa, hakim dalam menanggani sebuah kasus. Yang ada adalah penafsiran tunggal terhadap perbuatan orang itu, yakni bersalah atau tidak bersalah.
Ketiga, Sebelum wacana pembuktian terbalik (praduga bersalah) digulirkan akhir-akhir ini, pada beberapa kasus tertentu oleh para intelektual kita, hal ini sudah diterapkan oleh warga kampungku pada waktu yang lampau. Karena asas yang belaku dalam pengadilan adat tobung tahik di kampungku adalah asas praduga bersalah (pembuktian terbalik) bukan praduga tak bersalah seperti yang berlaku dalam hukum posistif dari dulu sampai saat ini. Sehingga siapa saja yang yang di vonis bersalah silakan membuktikan bahwa dia tidak bersalah denngan cara Tobung Tahik.
Teringat saya akan maraknya kasus-kasus korupsi di daerah ini dan kasus-kasus lain, dengan penanganan dan cara kerja yang berbelit-belit, saya lalu melontarkan pertanyaan kepada bapa Jeraman “ Ama, temutu nepi tite bisa terapkan te ata kewasan belen yang rekan doit ribu ratu nole kayak raen uka mela e, ama. (Bapa ceritra ini kalau diterapkan di pejabat yang korupsi uang rakyat berati bagus to bapa). Dia mengatakan memang betul sangat bisa anak, tetapi apakah kita punya kekuatan untuk mempengaruhi sistem yang mapan seperti ini. Beng tabe aku ama, alang titen ata dengeng hala (Mau bagaimana lagi bapa, suara kita tidak didengar), ujar saya.
Pasalnya dengan cara kerja yang berbelit-belit, pada akhirnya orang yang bersalah bisa lolos karena kasih uang habis perkara (KUHP) atau pemutarbalikan terhadap pasal hukum. Maka melalui tulisan ini saya minta dengan hormat, kearifan budaya lokal yang penah ada dan sudah ditinggalkan perlu menjadi permenungan kita untuk mengatasi persoalan korupsi yang melilit kita di bumi Flobamora ini. Karena uang yang di datangkan atas nama rakyat sudah terlalu banyak yang di korup untuk kepentingan pribadi dan golongan mereka.*

Minggu, 08 Februari 2009

Sarabiti Kecam Kejari Lewoleba

Laporan Sipiri Seko

LEWOLEBA, PK -- Anggota DPRD Kabupaten Lembata, Haji Hidayatullah Sarabiti mengecam Kejaksaan Negeri (Kejari) Lewoleba dengan tudingan tidak tahu aturan dalam pengusutan kasus dugaan korupsi di DPRD Lembata periode 1999-2004. Pasalnya, semua item tudingan yang dikenakan pada mereka sudah ditetapkan dalam APBD melalui peraturan daerah (Perda). "Minta maaf Pak Kajari, karena saya mau katakan bahwa Kejaksaan Negeri Lewoleba sangat goblok dan tidak tahu aturan. Perda yang ditetapkan itu sampai saat ini tidak pernah dibatalkan oleh gubernur atau menteri, sehingga sebenarnya apa kesalahan kami. Kalau memang salah, seharusnya perda tersebut dibatalkan, tapi Kejaksaan Negeri di Lewoleba aneh bin ajaib tetap mengatakan itu salah. Saya pikir ini penerapan hukum di Lewoleba paling aneh di republik ini."Hidayatullah Sarabiti mengatakan hal tersebut dalam dialog dengan Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, di Lewoleba, Kamis (5/2/2009). Dialog yang dipandu Sekab Lembata, Petrus Toda Atawolo, M.Si, itu dihadiri Bupati Lembata, Drs. Andrea Duli Manuk, unsur Muspida Lembata, anggota DPRD, pimpinan dan staf SKPD, tokoh masyarakat, tokoh agama dan pers. Sarabiti yang terlihat seperti kehilangan kontrol terus menyampaikan keheranannya terhadap proses hukum yang membuatnya bersama mantan Ketua DPRD Lembata, Drs. Philipus Riberu ditahan di tahanan Polres Lembata. Pernyataan yang dilontarkan Sarabiti tersebut membuat beberapa anggota Dewan segera memberikan isyarat kepada Petrus Toda Atawolo untuk menghentikannya. Meski berhasil dihentikan, namun Sarabiti yang berdiri tepat di belakang Kajari Lewoleba, Gabriel Mbulu, S.H, terlihat sangat tidak puas. Terkait pernyataan tersebut, Kajari Gabriel Mbulu yang ditemui usai dialog mengatakan, tidak ingin berpolemik. Meski demikian, Mbulu mengaku pernyataan Sarabiti itu akan dilaporkan kepada atasannya. "Saya tidak mau ini jadi polemik. Kita serahkan saja pada proses hukum yang sedang berlangsung. Pernyataan Sarabiti tidak menyerang pribadi tapi institusi. Saya akan sampaikan ke pimpinan kejaksaan," kata Gabriel. (eko/ius)

Dishub NTT Hentikan Pelayaran

KUPANG, PK -- Dinas Perhubungan (Dishub) Propinsi NTT meminta semua operator pelayaran terutama kapal perintis di wilayah perairan NTT untuk menghentikan sementara pelayaran di semua lintasan di perairan NTT. Permintaan penghentian ini dilakukan karena kondisi perairan di NTT yang makin memburuk. Demikian dikatakan Kepala Dishub NTT, Ir. Hary Teofilus kepada Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya dan wartawan di Bandara El Tari Kupang, Sabtu (7/2/2009)."Saya sudah minta ASDP dan operator pelayaran untuk menghentikan pelayaran. Kondisi perairan di NTT saat memang sedang sangat buruk, sehingga untuk mengantisipasi kejadian yang tidak diinginkan, sebaiknya pelayaran dihentikan sampai cuaca kembali normal," ujarnya.Perintah penghentian pelayaran ini, kata Hary, mendapat respon dari berbagai pihak dimana ada yang mendukung, namun ada juga yang mengecamnya. "Ada calon-calon penumpang terutama yang hendak ke Rote mengikuti pelantikan bupati protes ke saya. Saya memahami mereka, namun perintah penghentian pelayaran harus dilakukan demi kepentingan banyak orang. Saya sarankan kepada mereka yang hendak ke Rote hanya untuk menghadiri pelantikan bupati untuk berpikir matang, kalau memang tidak begitu penting," ujarnya.Sesuai prakiraan dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Kupang, hari ini, Senin (9/2/2009), gelombang di perairan NTT bisa mencapai lima meter atau lebih. Sesuai rekomendasi BMG, kondisi ini sangat berbahaya untuk semua jenis kapal.Perintah penghentian sementara pelayaran tersebut direspon sangat positif oleh Gubernur Lebu Raya. "Yang lantik Bupati dan Wakil Bupati Rote Ndao kan gubernur, jadi kalau ada masyarakat ke sana hanya untuk menonton, sebaiknya pikir matang karena cuaca memang buruk. Untuk tujuan lainnya juga harus demikian," kata Lebu Raya.Pendapat itu dikemukakan Lebu Raya terkait pengalamannya dihantam gelombang besar setinggi enam meter lebih di perairan Larantuka, Flores Timur, Jumat (6/2/2009). Gubernur Lebu Raya yang berlayar menuju Larantuka, setelah melakukan kunjungan di Lembata dan Adonara diterjang badai saat berada di atas perahu motor "Tri Sakti". Selama sekitar dua jam, Gubernur bersama rombongan berada di tengah badai, namun akhirnya selamat tiba di pelabuhan Larantuka.Selepas mengunjungi para petani dan sejumlah koperasi di Flores Timur, Gubernur Lebu Raya dan rombongan langsung melanjutkan safari ke Kabupaten Sikka melalui jalan darat. Dalam perjalanan dari Larantuka menuju Maumere, ibukota Kabupaten Sikka, tampak pohon-pohon bertumbangan menutupi badan jalan akibat angin kencang yang disertai hujan lebat. Penduduk desa yang berada di sekitar lokasi tumbangnya pohon dan patahnya dahan pepohonan langsung membersihkan rintangan tersebut selebar ukuran kendaraan roda empat.Kendaraan yang ditumpangi gubernur dan rombongan harus berjalan perlahan dan penuh hati-hati melewati rintangan tersebut. Kecepatan maksimal kendaraan selama perjalanan adalah 50 km/jam.Potensi Banjir Terkait curah hujan di NTT, BMKG Kupang memprediksikan potensi akan terjadinya banjir di beberapa wilayah NTT dalam satu minggu ke depan. Daerah-daerah seperti Kabupaen Kupang, TTS dan Belu memiliki potensi yang sangat tinggi sedangkan Alor, Flores Timur, Manggarai dan Sikka berpotensi sedang.Di Kabupaten Kupang, potensi banjir bisa terjadi di Kecamatan Kupang Tengah. Di Belu, banjir bisa terjadi di Kecamatan Malaka Barat dan Malaka Tengah sedangkan di TTS bisa terjadi di Kecamatan Amanuban Barat. Di Alor, ancaman banjir terjadi di Kecamatan Alor Barat Daya, Alor Barat Laut, Alor Selatan, Alor Timur dan Pantar. Di Sikka banjir bisa terjadi di Kecamatan Kewapante, Maumere dan Paga sedangkan di Flores Timur di Kecamatan Larantuka. (eko)